"Woi Kang, kami disini lagi pusing mikirin cari pasangan halal, bukan pusing mikirin rumah tangga". Ha ha ayolah ditengah kesibukan mencari pasangan disambi mempelajari bagaimana memanage keluarga kita dimasa depan menjadi baik.
Walau berkesan sederhana namun management rumah tangga ada baiknya dipelajari juga.
Memang model suami-istri sama sama bekerja ini bukan model yang umum ditemui dalam cerita dongeng, seperti cinderella dengan sang pangeran, sehingga tidak mudah mencari model panutan. Panduan keilmuan untuk model ini pun belum banyak bahkan juarang. Walau kenyataannya buanyak terjadi.
Bahkan banyak pria yang sebelumnya saklek bilang ke wanita ta'arufnya, "Saya ingin istri seorang ibu rumah tangga". Titik tidak pake koma. Si wanita karena sudah suka dan kagum, mengiyakan sambil ngomong dalam hati, "Yah gimana entar aja, cari cowok model 'dapuran' ginian yang baik dan mapan itu susah, bodo amat", ha ha ha. Ee setelah berjalannya waktu ternyata benar dibenak sang wanita tentang "gimana entar", akhirnya si pria menyadari bahwa istri bekerja ada baiknya juga. What next setelah dapat lampu hijau?.
Memang kalau saya, dulu, menerapkan model konvensional suami bekerja istri ibu rumah tangga. Karena istri memang tidak suka bekerja diluar. Namun saat ini saat saya jomblo mulai memikirkan model suami-istri bekerja, dengan simulasi jika saya mendapatkan istri bekerja atau istri yang ingin bekerja setelah nikah. Walau terdengar aneh, istri ingin bekerja setelah nikah, tapi kan bisa saja terjadi ha ha ha.
Lalu pemikiran berikutnya, untuk suami-istri bekerja apakah bisa urusan keluarga dan pekerjaan dibalance?.
Saat ini semakin banyak suami istri sama-sama bekerja. Sebabnya bisa macam-macam. Seperti: si istri sudah terlanjur bekerja sejak sebelum menikah, terlanjur punya karir bagus di tempat kerja. Atau dari keluarga yang sangat concern dengan pendidikan sehingga saat dewasa, dia terinspirasi perempuan-perempuan yang berkiprah di wilayah publik seperti Sri Mulyani, Marie Elka Pangestu, dll.
Sementara, si suami biasanya memberi ijin istrinya untuk bekerja, karena: memahami harapan tinggi orang tua istri yang menyekolahkan anaknya sampai tingkat tinggi, memahami bahwa istrinya punya potensi untuk berkembang dalam karir, memahami istrinya ingin independen secara finansial, atau untuk menghindari kemungkinan terburuk yang bisa saja terjadi di kemudian hari misal suami meninggal atau kena PHK.
Jadi, istri bekerja itu bukan semata-mata masalah aktualisasi, gengsi atau sekedar masalah finansial. Barangkali ada cerita panjang di balik itu semua.
Meski suami-istri sama-sama bekerja, seringkali tipe manajemen yang diterapkan masih tipe manajemen model istri di rumah-bapak bekerja, di mana suami berharap mendapat pelayanan seperti suami yang lain yang istrinya IRT. Suami memfokuskan diri mencari nafkah dan menyerahkan sepenuhnya urusan rumah tangga pada istrinya. Si istri pasrah saja dengan keputusan suami, karena memang biasanya keluarga lain juga begitu.
Namun karena si istri bekerja, tidak banyak waktu yang dia miliki untuk mengurus pekerjaan rumah yang seabrek itu; mulai urusan baju kotor, masak, bersih-bersih, halaman, sepeda rusak, rekening listrik, acara arisan RT, antar jemput anak, dsb. Akhirnya istri membutuhkan “perpanjangan tangan”, yaitu pembantu atau orangtuanya.
Jika menilik soal mempunyai anak, dengan kemajuan teknologi sekarang ini, tidak perlu lagi seorang ibu yang melahirkan untuk istirahat berlama-lama. Luka Operasi Caesar bisa kering dalam hitungan hari. Tak jarang seorang ibu sudah bisa bekerja seminggu setelah melahirkan. Namun bagaimana dengan mengasuh anak?.
Mencari pembantu yang pintar, cekatan, jujur, tanggung jawab dan bisa dipercaya tidaklah mudah. Kalaupun ada yang seperti itu, dia akan berpikir 100x untuk jadi pembantu. Akhirnya yang jadi pembantu itu biasanya yang sulit diterima kerja di mana-mana.
Alternatif lain yaitu orangtua istri/suami yang turun membantu. Namun bagaimana pun juga, gaya didik antar generasi bisa jadi berbeda. Belum lagi sindrom nenek/kakek terlalu sayang atau tidak tegaan sehingga cenderung memanjakan cucu. Bantuan ini adalah bantuan luar biasa yang harus dihargai, kasihan sebenarnya, bahkan saya pernah dengar ceramah dengan KH Anwar Zahid, beliau selalu mewanti-wanti jamaatnya untuk balikin cucumu ke orang tuanya, itu tanggung jawab mereka, kakek neneknya saatnya istirahat.
Kalau kedua alternative diatas susah atau kasihan, maka terpaksa pasrah bawa ke lembaga profesional seperti child care atau tempat penitipan anak. Kelebihan di lembaga seperti ini yaitu komplain bisa diterima, karena memang ada biaya yang dibayar untuk harapan pelayanan yang profesional. Coba bayangkan jika complain ke orang tua yang tentu segan, atau complain ke pembantu dengan kapasitas kemampuannya yang terbatas.
Kerepotan urusan rumah tangga ini menyebabkan waktu istri untuk bekerja berkurang secara signifikan dibanding saat sebelum menikah atau sebelum punya anak. Jika sebelumnya si istri bisa bekerja sepuas hati dan sebebas merpati, kini waktunya menjadi terbatasi waktu untuk keluarga. Istri tak lagi bisa kerja lembur. Banyak kesempatan yang lewat di depan mata, tidak bisa diraih karena keterbatasan waktu. Kualitas kerja jadi terasa kurang maksimal. Kondisi ini semakin menyulut stress saat menyadari rekan kerja yang lain melesat jauh lebih cepat.
Situasi seperti ini bisa menyebabkan istri pekerja mudah uring-uringan. Biasanya tergelitik untuk menyalahkan suami bahkab anak. Bahkan bukannya kebahagiaan rumah tangga yang didapat, namun percekcokan2 antara suami istri yang sama sama merasa bekerja. Ini semua karena manajemen yang amburadul, istri seakan merasa semua pekerjaan rumah di dia. Bahkan jika tidak dimanage maka bisa terjadi perceraian, karena istri merasa toh tidak ada suami juga semua bisa dihandle sendiri baik mencari nafkah maupun mengurus rumah.
Saya jadi ingat, adik perempuan saya yang pekerja keras, suatu saat ketika emosinya di puncak karena stres dengan semua kesibukan, menyuruh suaminya pergi membawa sekalian anak-anak dari rumah, tentu efek stres akut ini tidak diharapkan.
Memang jika terjadi ketidak-seimbangan dalam keluarga seperti ini, saran yang paling sering muncul adalah himbauan pada Istri untuk keluar dari pekerjaannya dan berkonsentrasi mengurus rumah tangga. Bahkan ada yang menyarankan: “Jangan pernah berusaha menyeimbangkan urusan rumah tangga dan karir. Karena itu tidak mungkin. Pilih salah satu.”
Herannya, tidak banyak yang menyarankan agar Suami lebih banyak meluangkan waktu untuk turun membantu membereskan masalah rumah tangga. Konsep suami adalah ‘pemimpin’ istri rawan disalah tafsirkan sebagai suami bebas mengatur istri semaunya, tanpa perlu mendengarkan pendapat istri dan berempati terhadap keadaannya. Pemimpin yang baik seharusnya pemimpin yang bisa berempati, dan tidak hanya menggunakan dalil agama sebagai tameng egoisme.
Pada model istri-suami bekerja ini, baik suami atau istri seharusnya paham betul akan keterbatasan masing-masing. Suami memahami bahwa istrinya bekerja, sehingga waktu untuk keluarga terbatas, maka tidak seharusnya menerapkan standar pelayanan ibu rumah tangga pada istrinya. Sebaliknya, suami perlu membantu istri mengurus pekerjaan rumah tangga. Sayangnya dimasyarakat kita, masih banyak yang berkomentar “iba” saat ada suami yang memasak, mencuci baju, atau memandikan anak. Biasanya yang berkomentar iba ini ibu si suami, saudara si suami, teman si suami, atau rekan kerja suami. Komentar iba pada situasi ini rawan menjadi komentar yang kurang semestinya, karena bisa jadi si istri juga tak kalah capeknya.
Adalah hal yang sangat rasional jika tugas-tugas kerumahtanggaan perlu didiskusikan dan didistribusikan. Ritual pagi suami untuk “sruput kopi plus baca koran pagi-pagi” boleh-boleh saja dilakukan jika tugas pagi sudah ditunaikan, dan istri sudah memastikan tidak ada lagi yang perlu dibantu. Sungguh kurang adil jika di satu sisi si istri multi tasking; kerepotan masak, memandikan anak, menyuapi anak, menyiapkan bekal ke kantor dan sekolah… sementara si suami enjoy ngopi-ngopi sambil baca koran yah peaceful life he he… Walau mungkin tidak salah-salah banget suami, tapi berempatilah sedikit.
Saran saya, tugas kerumahtanggaan suami ini sebaiknya MENGIKAT. Bukan tugas yang boleh dikerjakan boleh tidak, tergantung kelonggaran waktu dan mood. Karena kalau demikian, beban pikiran akan pekerjaan itu tetap ada di pundak istri. Padahal meski belum dikerjakan, jika ada kepastian bahwa istri tidak perlu mengerjakan tugas A,B,C,… karena tugas itu akan dikerjakan suami, hal itu sudah sangat mengurangi beban stress sang istri. Semisal mencuci dan menjemur baju dikerjakan suami, namun men-setrika dikerjakan istri. Artinya jika suami tidak mencuci maka baju tetap teronggok kotor menumpuk, bukan berarti istri mengambil alih perkerjaan itu.
Konsep ini sebenarnya bisa juga diterapkan ke anak yang sudah remaja, saya inget ibu saya membagi tugas kami anak-anaknya. Pekerjaan saya adalah mencuci piring dan perkakas dapur lainnya, terserah piring atau gelas kotor banyak maka tugas itu tetap disaya. Saya tidak mencuci piring = piring bersih sedikit, anggota keluarga lain bisa marah ke saya karena itu tanggung jawab saya.
Lanjut, di sisi lain, istri juga harus bisa menghargai bahwa suaminya sudah berkorban dengan tidak mematok standar ibu rumah tangga padanya. Istri-bekerja perlu merasionalisasi target karir atau pekerjaannya, disesuaikan dengan alokasi waktu untuk keluarga. Istri–bekerja tidak perlu merasa karirnya terlalu lambat saat tidak bisa mencapai target setinggi rekan yang lain. Istri-bekerja tidak sepatutnya membandingkan diri dengan pencapaian rekan kerja pria-nya dimana istrinya IRT, atau rekannya yang single, di mana dia mungkin bisa bekerja lembur semaunya. Masa depan keluarga dan anak-anak akan menjadi satu pencapaian tersendiri yang tak kalah pentingnya.
Hidup ini harus balance, termasuk antara keluarga dan pekerjaan. Baik istri atau suami bekerja, seharusnya tidak perlu merasa bersalah jika tidak bisa mengikuti rapat mendadak yang diadakan seusai jam kerja. Asalkan tugas sudah dipenuhi sesuai standar, masalah keluarga lebih penting. Jika ternyata suami atau istri berbaik hati mengijinkan pasangannya bekerja overtime, maka ia harus berjanji memberi hadiah setimpal. Hargai pengorbanannya. Jangan kemudian egois karena bekerja overtime maka mengabaikan tugas masing-masing yang sudah disepakati. Jikapun harus melimpahkan tugas itu, maka memintalah kepasangan kita dengan baik-baik.
Jika suami-istri bisa menghargai posisi masing-masing, ada pembagian tugas kerumah tanggaan yang jelas, plus lingkungan kerja mendukung; maka model suami-istri sama-sama bekerja ini pun bisa menjadi model ideal. Baik suami maupun istri perlu sedikit berkorban untuk menyesuaikan diri dengan kondisi ini. Namun, tidak ada yang perlu jadi martir. Istri tidak perlu berhenti bekerja, jika di situ ia bisa berkarya untuk dunia. Tidak ada yang tahu kan bisa jadi sang istri bisa mengubah dunia dan suaminya pasti laki-laki hebat nan bijaksana.
Maaf ini blog terpanjang ya he he. Saya paham pembaca suka melihat judul, awal dan akhir bacaan. Maka mangga bagi yang kuat baca, dibaca pelan-pelan. Jika tidak, bisa baca paragraf akhir diatas sebagai kesimpulannya.
Ketikan diatas diramu dari berbagai sumber dan literatur.
Kang Jay.
Saya teringat nasehat kyai langitan yang sudah meninggal, kyai yang sangat dihormati oleh pak Jokowi dan pak Prabowo, yaitu nasehat tentang mahar:
“Nak, kalau kamu menikah, usahakan mahar istrimu kasih yang banyak walaupun calon istrimu hanya minta mahar seperangkat alat sholat. Jika tidak punya uang, kalau bisa ya cari-cari dulu, karena uang mahar itu berkah jika dipakai usaha. Nanti, setelah menikah kamu minta izin ke istrimu uang mahar itu akan dipinjam dan dipakai untuk modal usaha, insya Allah usahamu akan berkah dan sukses.”

Nasehat ini dipraktekkan oleh santrinya, dan banyak santrinya yang benar-benar berkah dan sukses. Eehhmmm.......
Kang Jay

Saya ditanya seorang gadis AN umur 20an, "Om, kok di AN para duda, janda atau yang sudah usia kalau ngobrol di blog seperti sangat bebas, kagak ada malu-malunya".
Saya jawab, "Neng, om dan tantemu ini ngeremnya susah, harus dikocok. Selain itu juga sudah terbiasa di lepas dijalanan mau jalan tol maupun jalan kampung, dan sudah biasa ngegas pol saling salib-saliban gak takut polisi. Jadilah suka males ngerem. Dimaklumi ya. Kalau mobil baru keluar dari pabrik seperti Neng kan jarang dibejek gas nya, rem masih pakem, dan service juga rutin ke bengkel resmi. La kalau kita, yang penting ganti oli di bengkel tetangga. Sisanya biarin, toh masih jalan walau knalpot ngebul dan suara ngegereng kaya kesurupan "wani sia ku aing". Ini juga pake bensin premium, kalau abis ya ngecer lagi, yang penting bisa ngegas poll, ya kadang ngepot dikit sih, walau antik tapi pede dulu".
Gadis, "Iya sih om, dimaklumi".
Kang Jay
Gini nih susahnya jadi jomblo yang habis bersilaturahmi dengan keluarga besar, terus tiba-tiba ketemu saudara yang menawan hati? Langsung deh searching mbah google dengan keyword ini: Hukum menikah dengan sepupu.
Kang Jay
Sebenarnya sampai saat ini pun banyak ustadz dan kyai masih mempertanyakan apakah jodoh adalah takdir, melihat bahwa jodoh juga mengikuti sebab-akibat seperti usaha dan doa.
Saya pernah mengikuti ceramah jum'at, sang Habib berapi-api bilang Jodoh Bukan Takdir, saya cukup lama mencernanya sambil garuk-garuk kepala tanda bingung he he he.
Kalau saya sendiri sih cenderung melihat jodoh adalah takdir seperti ajaran dibuku-buku agama saat sekolah, namun ketika saya cerna dari ceramah itu maka saya juga ikut heran karena banyak diantara kita terlalu saklek menganggap bahwa jika jodoh adalah takdir maka jodoh itu harus SEMPURNA, padahal kesempurnaan sangat mustahil didapatkan dalam hubungan asmara.
NAH POLA BERPIKIR seperti ini yang bisa membahayakan hubungan rumah tangga, kata sang Habib. Jodoh Tidak Sempurna = Jodoh Bukan Takdir, padahal takdir adalah ghoib. Ketika sampai rumah, saya merasa berhasil mencerna apa yang disampaikan sang Habib, masuk akal juga sih. Masih sangsi sih, ya sudahlah. Mungkin yang ingin disasar oleh sang Habib adalah Pola Berpikir nya.
Coba saya ulas.
Jika kita terlalu percaya hubungan sukses adalah hasil dari takdir jodoh, maka kita akan cenderung malas menyelesaikan masalah hubungan karena kita pikir pasangan kita harusnya sempurna dan hubungan seharusnya selalu lancar. Misal kita kenalan dengan cowok atau cewek kemudian kita merasa banyak kekurangan didiri dia dan banyak masalah terjadi, dengan mudah kita langsung menjudge "Oh dia bukan jodohku, karena jodoh yang disiapkan Tuhan untukku adalah jodoh sempurna dan lancar seperti yang aku idam-idamkan". "Aku tuh cowok atau cewek baik-baik lho (versi dia) jadi harus dapat yang baik-baik juga (lagi-lagi versi dia juga)". Hellooooooo...any body home.... Padahal sesuatu yang kita anggap baik belum tentu baik disisi Allah.
Kalau kita terlalu percaya pasangan hidup kita (misal sudah nemu) adalah jodoh sempurna yang ditakdirkan untuk kita, maka kita akan menyalahkan pasangan jika terjadi masalah. Kita akan mengkritik pasangan jika dia melakukan kesalahan. Kita akan menuntut pasangan untuk berubah demi kita. Akibatnya jika tidak, maka kita akan dengan mudah meninggalkan hubungan dan mencari orang lain yang kita anggap sempurna. Padahal kesempurnaan tersebut hanya ekspektasi yang membutakan kita untuk menjalani hubungan secara realistis dan sehat.
Sedangkan jika pasangan lain yang tidak terlalu memusingkan bahwa jodoh yang dia dapat saat itu adalah takdir sempurna namun berfikir yang REALISTIS, maka saat menghadapi konflik akan lebih sehat. Mereka memberikan ruang terbuka untuk mengungkapkan perasaan dan keinginan satu sama lain demi memperbaiki konflik. Mereka tidak menahan uneg-uneg karena mereka tahu hubungan mereka tidak sempurna, sehingga mereka akan terus berusaha demi satu sama lain.
Hal ini berbeda dengan orang yang percaya dengan jodoh adalah takdir sempurna. Ketika menghadapi konflik, konflik tersebut justru dianggap sebagai tanda pasangan mereka bukanlah jodoh yang ditakdirkan untuk mereka. Alih-alih memperbaiki konflik, malah langsung menjudge itu bukan jodoh dia, jadi harus secepatnya bercerai dan mencari jodoh sebenarnya yang ditakdirkan Tuhan, ha ha ha pikiran sesat.
Jadi silakan saja kita percaya dengan jodoh adalah takdir yang tidak bisa diubah. Namun tetap selalu berpikir bahwa jodoh kita adalah orang yang tepat menurut standar kita sendiri, bukan artinya sempurna. Setelah bertemu orang yang tepat, kita tetap harus berusaha membangun hubungan yang sehat dan sudah pasti akan ada konflik yang harus dihadapi.
Sekali lagi walau itu takdir, namun jodoh jangan hanya ditunggu dan didoakan, jodoh juga harus tetap dicari dan diusahakan dengan tingkatkan terus kualitas diri dan standar kita dalam mencari pasangan. Kita harus selalu bersikap realistis untuk terus berusaha agar hubungan berjalan mulus dan sukses.
Kang Jay
Kebanyakan orang yang lama menjomblo banyak yang tak bisa menjelaskan mengapa sampai saat ini jodoh kita belum datang.
Ada alasan unik yang tanpa disadari membuat kita sulit menemukan belahan jiwa, yakni menyabotase diri sendiri.
Menyabotase diri sendiri bisa diartikan sebagai secara aktif meremehkan dan menutup peluang untuk interaksi sosial atau pun potensi bertemu orang baru.
Pada kondisi ini, kita mengatakan pada dunia bahwa kita tidak tertarik pada suatu hubungan baik secara sadar atau tidak sadar.
Kita seringkali menyalahkan faktor eksternal, misalnya menyalahkan cuaca panas atau macet sehingga malas datang ke sebuah undangan acara, menyalahkan teman yang dekat dengan kita berperangai buruk semua. Inti dari kebanyakan sabotase diri adalah rasa takut.
Ada kisah tentang sepupu saya, dia cantik, sarjana ekonomi dan bekerja sebagai SPG produk kosmetik. Dia paling males diajak ke acara keramaian. Tante saya sempat bingung bagaimana mencarikan jodoh untuk putrinya. Ada anak kenalan ibunya dikenalkan namun dibilang anak mami. Usia sepupu saya pun bertambah, pada akhirnya kandidat yang ada kebanyakan adalah duda. Ada salah satu duda serius yang datang kerumah, namun sepupu saya selalu mencari celah bagaimana sang Duda merasa tidak nyaman dan berusaha mempengaruhi ibunya bahwa sang duda berperangia buruk dan masih mengingat mantan istrinya.
Akhirnya sang duda mundur teratur. Sepupu saya dengan bangga bilang ke mamanya, "Tuh kan ma, untung eteh tidak serius ama dia, dianya cuman main-main nyatanya ga pernah datang lagi, untung eteh masih dijaga Tuhan untuk tidak mendapatkan suami berperangai buruk". Mamanya cuman bisa mengelus dada, jika sekali dua kali bilang kenalan prianya dicap buruk tak apa, namun kalau sering???. Kemudian takdir tidak bisa ditolak, diusia 41th sepupu saya meninggal karena Leukimia. Sedih jika teringat sepupu saya yang cantik ini, teman main saya karena kita hampir seumuran. Ini benar-benar kisah nyata. Saya masih sering meninggalkan ucapan ulang tahun di FB nya, adiknya (sepupu saya juga) suka membalas pesan saya karena dia adminnya.
Sebenarnya kondisi mensabotase diri ini dapat dimengerti bahwa banyak orang menahan diri demi melindungi diri sendiri agar tidak terluka. Ini terutama disebabkan oleh rasa takut akan penolakan dan keinginan untuk menghindari patah hati.
Sering kali ketika seseorang secara emosional terluka di masa lalu, wajar untuk melindungi diri. Tapi ada perbedaan antara bersikap skeptis secara sehat dan merusak kebahagiaan sendiri.
Banyak orang yang tanpa sadar menyabotase peluang mereka menemukan cinta karena adanya kenyakinan negatif, seperti merasa lebih baik saya sendiri, takut menjadi korban perselingkuhan, dan berpikir tak punya waktu untuk menjalin asmara.
Secara umum, pada kondisi ini memang kita belum siap menjalin asmara karena masih memegang beberapa keyakinan itu.
Lalu, apa yang harus kita lakukan?
Ini mungkin klise, yaitu belajarlah mencintai diri sendiri. Ada banyak manfaat untuk belajar mencintai diri sendiri sebelum kita dapat mencintai orang lain.
Saat mencintai diri sendiri akan timbul kasihan, kasihan tubuh ini belum pernah merasakan pernikahan, kasihan tubuh ini belum mencoba digunakan untuk mendapatkan anak, kasihan tubuh ini belum banyak dibelai oleh kekasih hati, dan lain sebagainya.
Belas kasih dan kesadaran diri adalah langkah pertama dalam menarik dan mengembangkan hubungan positif.
Kang Jay
Bagi yang pernah dilukai, hingga susah melupakan.
Bagi yang pernah mencintai, tapi dikhianati.
Bagi yang pernah mengkhianati, lalu menyadari semua bukanlah hal baik untuk hati.
Bagi yang jatuh cinta diam-diam, suka pada sahabat sendiri.
Juga bagi yang tidak bisa berpaling dari orang yang sama, dan hal-hal yang lebih pahit dari itu.
Tenanglah, saya pernah ada di posisi anda saat ini. Mari mengenang, tapi jangan lupa jalan pulang. Sebab, setelah kita berpetualang ke masa lalu, kita harus menjadi lebih baik bukan makin terpuruk atau bahkan terlena untuk terus memanjakan hati dengan kesakitan itu terus.

Saya pun tahu satu-satunya hal yang bisa memperlambat waktu adalah rindu.
Namun ayo, kita mulai menata rindu yang baru. Ya rindu yang punya harapan nyata bukan fatamorgana.
Katakan kepada masa lalu: kamu adalah cerita yang telah usai.
Bangkit menatap masa depan kita dengan optimis dan ceria.
Kang Jay
Mungkin kita pria pernah dibilang oleh wanita tidak peka. Kemudian kita pria kebingungan, tidak peka pada hal apa, perasaan semua biasa dan baik-baik aja. Lalu dibilang lagi tidak peka, bertanyalah pria "peka pada hal apa?", namun tidak dijawab wanita.
Saya akan ambil contoh kasusnya pada putri saya. Pada awal kenalan dengan cowok, putri saya tercengang melihat ketidakmampuan sang pria teman dekatnya untuk peka atau turut bersedih hati saat putri saya sedang sedih atau curhat tentang kesedihannya.
Kondisi ini sebenarnya sudah banyak diteliti, bahwa pria dan wanita akan sama-sama merasa nyaman saat berdekatan secara fisik dengan orang yang gembira. Namun, hanya wanita dalam penelitian menunjukkan yang masih merasa sama nyamannya berdekatan dengan orang yang sedang terluka atau sedih.
Yang saya amati, seperti teman-teman putri saya yang akan terus menemani saat hati putri saya terluka atau sedih. Mereka akan bertanya kapan itu terjadi, apa yang diucapkan, apakah kamu bisa tidur, atau udah makan belum, atau mau aku kerumahmu?.
KEMAMPUAN untuk “mendampingi” selama terjadi masalah emosi memang sudah tertata kuat dalam diri wanita.
Akan berbeda dengan pria jika melihat wanita sedih, cenderung diam atau hanya mengucapkan, “Aku harap kau lekas ceria lagi, ya” kemudian buru-buru melanjutkan kesibukannya atau menjauh pergi. Bukannya sang pria sengaja tidak peka, namun lebih berkaitan dengan insting purba pada pria. Insting pria terbiasa menghindari kontak dengan orang lain bila mereka sendiri sedang mengalami masa yang beraatttt dari segi emosi. Pria biasa menenangkan atau memproses kesulitannya secara SENDIRIAN. Dan mengira wanita akan melakukan hal yang SAMA. Jadi bukan tidak peka, namun pria cenderung udah dari sononya begitu.
Lalu putri saya bertanya mengapa ayah bisa peka? (versi putri saya he he) "Nak, ayah sudah mengalami asam garam kehidupan, apalagi sejak punya kamu anak perempuan kemudian kamu ditinggal ibumu, ayah berusaha keras memahamimu". Untuk pria muda yah pastinya cenderung lebih mengandalkan insting, masih wajar kurang peka. Dia butuh banyak berinteraksi dengan wanita untuk mengasah kepekaannya.
Namun banyak juga pria yang susah belajar. Bahkan sampai puluhan tahun menikah pun, masih banyak suami yang masih mengandalkan insting purbanya saja alias tidak peka terhadap istrinya ha ha ha. Dalam benaknya, "Saya kan ga neko-neko, dan udah berusaha jadi suami baik kok". Eee ternyata dianggap gagal total tanpa kepekaan, sehingga menyebabkan istrinya tidak bahagia, memilih bercerai atau bahkan kecantol pria lain yang dianggap lebih "peka". Memang pemahaman perbedaan pria dan wanita perlu digarisbawahi saat ingin menikah, jangan hanya modal cinta apalagi nafsu saja.
Kembali ke putri saya , tentang ketidakpekaan pria bisa juga muncul dalam berbagai emosi lainnya, tidak hanya saat wanita sedih saja.
Pria teman dekat putri saya (yah pacar lah) sebenarnya sudah mengungkapkan ingin menikahi putri saya. Namun karena putri saya baru diterima di RS sebagai bidan yang benar-benar masih hetic banget dengan kesibukannya, sehingga dia minta waktu untuk menjawabnya. Sang pria setuju.
Setelah beberapa bulan akhirnya putri saya mulai terbiasa dan berkurang tekanan kerjanya. Putri saya sadar bahwa dia pun ingin menghabiskan sisa hidupnya bersama pujaan hatinya, rencana ini sudah didiskusikan juga dengan saya dan saya mengiyakan. Putri saya memutuskan untuk membuat dia tahu. Selama dua bulan, putri saya melontarkan banyak isyarat alias kode-kode, yah pembahasan tentang anak lah, tinggal dimana lah, persiapan apa yang diperlukanlah, namun sang pria tidak banyak merespon dengan semangat alias datar saja menjawab bahkan sekenanya, tanpa merasa tahu pesan-pesan sebenarnya.
Setelah beberapa bulan kemudian karena panik, putri saya langsung bilang, “Aku siap menikah,” pada suatu sore. Sang pria hanya menjawab, “Ok, saya sangat senang mendengarnya” menoleh sambil tersenyum sebentar lalu menonton lagi pertunjukan musik di hari minggu sore itu.
Putri saya mulai panik. Apa dia sudah berubah pikiran? Apa dia sudah tidak mencintainya lagi? Setelah menonton musik, putri saya selama beberapa jam mencecarnya. Akhirnya karena seakan merasa frustrasi dan terhina, putri saya menangis. Putri saya bertanya apakah dia sedang mau meninggalkannya. Sang pria kaget dan menjawab, “Apa?”. “Bagaiman bisa berkesimpulan seperti itu? Ini kan pertama kalinya adik menyatakan bahwa siap menikah....(berpikir sejenak, mulai sadar, dan oalah ealah)....maukah adik menikah denganku?”. Lega dan tersenyum malu-malu putri saya ha ha ha.
Putri saya tidak bisa mengerti bagaimana sang pria seperti tidak peka dengan sinyal-sinyalnya selama berbulan-bulan ini, bahwa dirinya sudah siap menikah.
Nah ini salah satu sifat wanita yang perlu dipahami pria, saya teringat saat putri saya masih kecil, dia tidak mau berhenti melenggak lenggok sebelum berhasil memancing ekspresi wajah saya. Jika putri saya tidak mendapat respons yang diharapkan, dia akan terus lenggak lenggok dengan tingkah lakunya itu. Dia akan berhenti jika menyimpulkan dan mengira bahwa saya tidak menyukainya, karena tidak melihat ekspresi saya.
Yah mirip mirip seperti kisah putri saya saat udah dewasa diatas. Ketika sang pria tidak langsung melamarnya dan tidak langsung menanggapi interogasinya, dia menyimpulkan bahwa sang pria tidak mencintainya lagi. Sebenarnya, sang pria hanya kurang peka aja dengan sinyal-sinyal itu, bahkan saat diberi sinyal keras maka sang pria sebenarnya hanya berusaha mengulur waktu untuk mengajukan lamaran karena saat itu kan saat pertama kali putri saya bilang siap menikah, dia mungkin sedang berpikir langkah apa selanjutnya, yah khas pria kadang tidak bisa spontan, perlu waktu untuk mensinkronkan dengan logikanya dulu.
Begitulah wanita he he he, selalu ingin pria peka tanpa perlu dia mengungkapkan keinginan dia sebenarnya, mungkin dibenak wanita, jika mengungkapkan langsung seakan menjatuhkan harga dirinya atau bakal bikin malu atau apa silahkan comment dibawah. Yah bagi pria harap maklum dan mulai belajar peka.
Yah sebisanya ya he he...namanya aja belajar...
Kang Jay