BLOG TULISAN Jayadiningrat


Pada suatu pagi nanti, kau akan membuka matamu, menemukan dia di sampingmu.


Hatimu tenang, bibirmu tak bisa berhenti tersenyum setiap pagi.


Dia adalah pasangan hidup yang telah kau dambakan; seseorang yang tadinya tak bernama tetapi selalu kau panjatkan dalam doa; dan doa doa yang terkabulkan dalam satu sosok manusia. Sudah tak ada lagi malam-malam sebelum tidur, bertanya-tanya, “Siapa yang jadi jodohku kelak? Apa ada yang mau sama aku?” Karena, tadi malam, saat kau belum tertidur lelap, jodohmu telah mendengkur halus di sampingmu, seakan berkata, “Kamu sudah nggak sendiri lagi.”


Hari pertama, hari kedua, hari ketiga. Bulan pertama, bulan kedua, bulan ketiga, hingga tahun pertama. Semua berlalu seperti mimpi indah. Perbincangan tengah malam tentang mengapa kamu memilihku. Obrolan-obrolan tak penting, lelucon penuh tawa, pengingat-pengingat manis darinya. Duduk berdua, di depan televisi yang tak menyala, tanpa bicara, tetapi begitu hangat dan nyaman. Bernostalgia di sore hari tentang hari pernikahan kalian, di saat para saksi menyeru, “Sah!" dan air mata menggenang di mata kalian.



Semua ini berlalu begitu mulus, begitu indah. Masalah ada, konflik terjadi, rasa jenuh sempat hadir, tetapi itu tak pernah menghancurkan kalian, malah semakin menguatkan. Ini bukan hubungan yang sempurna, tetapi kau tak mempermasalahkannya selagi ini bersamanya.
Lalu, tanpa aba-aba, sesuatu di dalam dirimu terjadi.


Seperti kecemasan. Yang membuatmu ingin menangis tanpa alasan masuk akal. Yang membuatmu tak terlalu nafsu makan. Yang membuatmu bingung apa yang harus kau lakukan.


Tidak, tidak ada apa-apa tentangnya. Dia tetap menjadi pasangan yang baik. Bahkan semakin baik, semakin hari berlalu. Tidak, tidak ada masalah darimu. Dia menerima segala kekuranganmu dan senantiasa memberi bisikan hal-hal seperti,
“Aku sayang sama kamu bersama seluruh kekuranganmu.” Dan, di situ masalahnya.


Kau sangat, sangat, sangat mencintainya, mengaguminya, menggilainya. Namun, cinta ini begitu kejam. la mengirimkan suara-suara dalam hatimu yang bertanya, “Bagaimana nanti? Bagaimana tahun-tahun ke depannya? Bagaimana kalau dia pindah ke lain hati? Bagaimana kalau dia berubah? Bagaimana kalau dia... meninggal?”


Kau sangat, sangat, sangat mencintainya, mengaguminya, menggilainya, dan itu membuatmu khawatir.


Gelisah merundungimu setiap kali dia pulang lebih larut dari biasanya. Meski dia sudah jujur, “Aku lembur.”
Kecemasan meliputi setiap kali dia jatuh sakit. "Dia kenapa, ya? Duh, aku harus gimana? Kenapa belum sembuh?".


Curiga timbul setiap kali dia begitu fokus menatap ponselnya, lalu mengetik sesuatu. Apa ada perempuan lain? Meski setelah kamu mengecek isi ponselnya setiap malam, itu hanya perbincangan bersama teman lama dan urusan kerja. Atau sudah dia hapus?.


Perih betul hatimu ketika dia berkata, “Aku ada janji sama temanku. Aku balik agak malam, ya.”

lya, dia memang hanya bercengkerama bersama teman-temannya, tetapi mengapa aku malah cemburu tidak penting begini? Mengapa hati ini begitu sakit hanya karena hal sepele seperti ini?.


Kesedihan menjadi sahabat baikmu setiap kali kau berjalan-jalan bersamanya. Genggaman tangan yang erat, percakapan sederhana, gombalan yang memanjakan telingamu, itu semua membuatmu bertanya, “Sampai kapan? Apakah dia akan begini terus? Namun, gimana kalau dia sudah... meninggal? Aku gimana? Aku hanya sayang dia, nggak ada yang bisa menggantikan dia.”


Di tahun-tahun berikutnya, kau mendengar perceraian teman terbaikmu, kisah perselingkuhan yang merajalela, temanmu yang meninggal, meninggalkan pasangan hidup dan anak-anaknya.


Perasaan ini semakin menyiksamu. Seperti ada pisau yang kasat mata, mengiris hatimu pelan-pelan, membiarkannya berdarah bertahun-tahun, dan tak ada yang dapat menghentikan irisan ini. Jika irisan ini berhenti, itu sama saja berarti tak pernah menemuinya, tak pernah mengenalnya, tak pernah mencintainya, tak pernah menikahinya.


Rasa sakit ini bermula dari rasa cinta yang begitu dalam. Dan, jika kecemasan ini tak pernah ada, setidaknya ada satu kebenaran yang pasti terjadi: satu dari kalian akan meninggalkan satu sama lain.


Mungkin, ini yang disebut orang-orang: kenikmatan adalah ujian.


Kehidupan yang melelahkan. Seakan semuanya terasa sia-sia. Mencintai tetapi tak pernah bisa benar-benar memiliki.


Jika cinta bukan jawaban dari segalanya, lalu apa?
Perihal ini, setiap orang memiliki perspektif masing-masing. Dan, setiap orang akan bertanggung jawab dengan pendapat mereka.


Dan, jika kecemasan ini tak pernah ada, setidaknya ada satu kebenaran yang pasti terjadi: satu dari kalian akan meninggalkan satu sama lain.


Saat satu dari kalian pergi, meninggalkan dunia ini. Katakanlah itu dirimu. Maka, kepada siapa kau kembali? Apakah kau kembali kepada pasangan hidupmu? Apakah hidupmu berakhir begitu saja? Setelah melalui semua kesulitan ini? Apakah arti hidup ini jika semua berakhir tanpa makna? Maka, kepada siapa dirimu kembali?.


Secara naluri dan logika paling murni dan jujur, kita semua tahu jawabannya: kepada-Nya-lah kita kembali.


Maka, apakah cinta jawaban dari segalanya? Apakah kita hidup hanya untuk saling mengisi rasa kesepian? Atau, bertakwa kepada Tuhan yang telah menciptakan kita, yang memberi rezeki kepada kita, yang menjadi tempat kita kembali, yang menjadi jawaban segalanya, tujuan hidup yang sesungguhnya?.


The truth is so loud we can’t deny it.


“Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sendagurauan, perhiasan dan saling berbangga di antara kamu serta berlamba dalam kekayaan dan anak keturunan, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian (tanaman) itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang palsu.” [QS Al-Hadid: 20]


You may gone from my sight, but you are never gone from my heart.


Kang Jay


Mungkin, kebanyakan laki-Iaki memang begitu.

Namun, kebanyakan perempuan juga begitu.

Mereka yang membuat Iaki-laki berjanji.

Mereka yang berekspektasi.

Mereka yang menyalahkan laki-laki ketika janji itu tak tertepati.


Well kita mulai saja kisah ini, yah kisah yang sangat-sangat biasa terjadi.


Kamu berkata kepadanya, “Aku nggak mau main-main. Aku mau hubungan yang jelas, yang ada tujuannya,”

Dan karena aku sudah lelah patah hati, karena aku nggak mau membuang waktuku dengan orang yang nggak pernah berani berkomitmen untuk masa depan, lanjutmu dalam hati.


Hari itu, ada jeda yang berlangsung lama sekali. Tetapi hari itu, kamu bisa mendengarnya berkata.…


“Aku juga nggak mau main-main.”


Beberapa hari kemudian, dia mengisi hari-harimu, setia membalas pesanmu di tengah malam, selalu menjadi orang pertama yang bertanya apakah kamu sudah bangun, saling berbagi cerita, lalu kamu akan mendengarnya berkata:


“Aku pengen kita selamanya kayak gini.”


Setetes air mata menitik di matamu. Mulutmu merapal syukur. Hatimu bergema, “Akhirnya, akhirnya. I found the one.”


Beberapa minggu kemudian, kamu akan membuat drama kecil. Tak membalas pesan darinya, tak memulai percakapan di pagi hari, tak mengangkat telepon darinya. Sekadar mengecek keseriusannya. Sekaligus rindu mendengar kata-kata manis darinya.


Sehingga, dia akan menyerah dalam argumen tak jelas ini dan berkata,


“Aku sayang sama kamu. Kamu jangan gini, dong.”




Namun, kamu lelah dengan ucapan indah. Kamu ingin sesuatu yang lebih serius. Dengan hati yang sudah melayang di langit dan senyum lebar di bibir, kamu mengetik pesan semacam, “Ah. Ngomong sayang mah gampang.”


Dan, dia akan berkata,


“Maaf kalau aku belum bisa komitmen. Tetapi, aku janji. Aku bakal dapat kerja, mapan, biar kita bisa............................... nikah.”


Dan, seluruh tubuhmu meleleh.


Sejak hari itu, tak ada lagi lagu favorit, yang ada hanyalah suaranya, melantunkan janji manis itu, bermain di kepalamu setiap hari, menjadikan hari-hari lebih indah, membuat cinta menyerbak ke seluruh penjuru hatimu, lebih pekat, lebih dalam.


Namun, itu dulu...


Masa lalu yang tak pernah terulang.


Beberapa bulan lalu, kamu menyadari sesuatu: Semakin dalam kamu mencintai, semakin banyak langkah mundur yang dia ambil. Melalui perbedaan pendapat yang tak berujung, kesalahpahaman yang tak jelas, kebuntuan yang tak terelakkan, ucapan maaf yang sia-sia, dia dan kebiasaan buruknya, kamu dan ekspektasimu.


And you've never loved and hated someone this hard, at the same time. Di satu malam yang tak berbintang, keputusan harus di ambil.


"Mending kita udahan aja kalau kayak gini terus".


Sejak hari itu, janji-janji manis yang pernah diucapkannya menjadi lagu kenangan yang selalu bermain di kepalamu, setiap malam, sebelum tidurmu, di sela-sela air mata yang tak tertahankan. Dan setelah jatuh cinta berulang kali, kamu menyimpulkan,


“Semua laki-laki sama aja, ya. Cuma bisa kasih janji manis. Tanpa kepastian.”


Sekali lagi, kisah diatas sangat jamak terjadi, bertahun-tahun di AN sangat sering saya membaca keluh kesah wanita seperti kisah diatas.


Saya, sebagai laki-laki, ingin menjawab: mungkin, anda benar. Mungkin, kebanyakan laki-laki memang begitu. Tetapi, kebanyakan wanita juga begitu. Wanita yang membuat laki-laki berjanji. Wanita yang berekspektasi. Wanita yang menyalahkan laki-laki ketika janji itu tak terlaksana. Padahal, wanita tahu: anda yang memulai semua kode ini menjadi sebuah keseriusan, sedang pria hanya mengikuti alur yang wanita buat sehingga dia hanya berusaha menyenangkan hatimu dengan janji surganya. PADAHAL, wanita pun tahu: pria, yang wanita cintai, punya janji-janji lain yang belum terpenuhi.


Maksud saya...


Anda bisa melihat dengan mata sendiri: misal pria itu masih menggunakan uang orangtuanya untuk pendidikan atau untuk uang jajan selama nganggur, tetapi dia malah menggunakan uang itu untuk anda, dan anda merasa, he's such a gentleman. Namun, bayangkan, jika anda adalah ibu dari seorang anak laki-laki, yang diberi uang untuknya, untuk pendidikannya atau jajannya, tetapi dia malah menggunakannya untuk seorang perempuan yang baru dikenalnya beberapa bulan terakhir, akankah anda akan baik-baik saja?.


Anda bisa melihat dengan mata sendiri: si pria belum lulus atau belum bekerja. Dan, kelulusannya atau bekerjanya adalah janji tak terucap, yang belum terpenuhi, antara dia dan orangtuanya.


Anda bisa melihat dengan mata sendiri: si pria tidak pernah memulai janji jika tidak anda mengirim kode-kode agar hubungan itu menjadi keseriusan.


Anda bisa melihat dengan mata sendiri: si pria bahkan tak tahu cita-citanya. Oh, pria itu mungkin memiliki cita-cita. Tetapi, dia bahkan tak pernah mulai mengejarnya. Jika dia menghabiskan waktu dengan hal favoritnya, anda akan mulai merasa dia tak peduli kepadamu. Padahal, cita-cita adalah janji dia untuk dirinya sendiri.


Janji apa yang wanita harapkan dari seorang laki-laki yang belum memenuhi janji orangtuanya dan janji untuk dirinya sendiri?


Ini tak selalu tentang laki-laki dan janji manisnya. Ini juga tentang wanita dan ekspektasinya yang berlebihan. Berhenti menyalahkannya yang gagal menepati janji itu, sebab wanita pun belum memenuhi janji... untuk Tuhan yang menciptakan anda; lalu, untuk orangtua anda, dan untuk diri anda sendiri.


Hidup tak selalu tentang dia yang kamu cintai.


You have your own life, and it doesn’t always have to do anything with him.


Kang Jay


Mereka terlihat seperti pasangan yang sempurna.


Maksud saya, lihat saja Instagram mereka.


Gadisnya dulu. Foto terbarunya adalah sebuah foto jarak jauh, dilatari dinding putih bersih. Mereka berdiri berdampingan, tanpa jarak, jemari saling menggenggam, kepala sang gadis bersandar di bahu sang lelaki, memejamkan mata dengan bibir tersenyum tipis, mengenakan pakaian terbaik. Dan, sang laki-laki melihat kamera, agak kikuk dengan senyum separuh dan tangan kanan yang tampak seperti menggaruk tengkuk yang tak gatal.


Sekarang, mari kita cek Instagram laki-lakinya. Foto terbarunya adalah gadisnya, hanya gadisnya, tanpa dirinya. Duduk menyamping, berlatarkan langit biru, melihat sesuatu yang jauh, tanpa senyum, tanpa ekspresi, tetapi begitu damai. Dan di foto ini, seakan sang laki-laki sedang diam-diam mengagumi gadisnya.


Kemudian, kita jadi ingin menulis di kolom komentar. "Kapan ya punya kekasih kayak gini?. Kayak gini terus ya..."


Berbulan bulan mengikuti mereka di lnstagram, saya menggulir postingan lama mereka. Foto-foto romantis yang tak pernah berlebihan, caption-caption yang diambil dari Google dengan kata kunci “love quote tumblr”, video-video manis tentang hubungan mereka.


Berbulan-bulan saya menonton keseharian mereka lewat Instagram Story. Boomerang konyol, tetapi menggemaskan, kisah-kisah lucu (yang 50 sweet) dari pasangannya, kutipan-kutipan indah yang menggambarkan kebaikan pasangannya.


Segalanya begitu sempurna dan indah. Namun hari ini, segalanya berubah.


Foto foto romantis telah terhapus. Kutipan kutipan indah tak berjejak. Mereka tak lagi saling mengikuti di Instagram. Tak ada lagi Instagram Story bersama. Yang ada hanya puisi-puisi sedih, latar hitam, dan foto-foto dengan mata sembap.


Padahal kita pernah menaruh harapan pada hubungan ini, berharap ada akhir indah di setiap kisah cinta.


Beberapa bulan kemudian, sang gadis bertemu seseorang baru, jatuh cinta dan jadian, memiliki kisah cinta yang lebih seru, foto-foto yang lebih romantis, perjalanan tengah malam yang gila, dan segalanya jadi lebih berwarna.


Dan kita kembali berharap: mudah-mudahan, mereka berjodoh, mudah-mudahan, mereka berjodoh. Karena saat ini, mungkin kita sedang berada di posisi yang sama. Yah sedang jatuh cinta dengan seseorang, yah memiliki seorang terkasih, yah berharap orang yang kita cintai hari ini menjadi jodoh kita di masa depan.


Namun, hidup kembali memutar cerita. Tak sampai setahun, hubungan gadis itu dan pasangan barunya berakhir. Foto-foto kembali terhapus. Kutipan-kutipan cinta lenyap. Tak lagi saling mengikuti di Instagram. Tak ada lagi Instagram Story, selain kutipan-kutipan patah hati yang pilu.


Lagi lagi, kita kecewa. Lelah berharap, karena kita sadar: ini bukan relationship goals. Ini siklus percintaan yang melelahkan. Penjara yang dibalut atas nama cinta. Bertemu, jatuh cinta, jadian, Instagram yang penuh keromantisan, putus, foto-foto terhapus, saling berhenti mengikuti, lalu bertemu orang baru lagi, jatuh cinta lagi, jadian lagi. Instagram penuh keromantisan lagi, putus lagi, foto-foto terhapus lagi, begitu seterusnya.


Jadi, kita bosan dan berhenti mengikuti gadis itu. Toh, kita juga tak mengenalnya. Dia hanyalah seseorang yang terkenal di Instagram, dan hubungannya di masa lalu pernah mengembangkan harap kita.


Sekarang tidak lagi.


Cari pasangan-pasangan yang udah nikah aja, biar lebih pasti, nggak sakit hati.


Jadi, kita mulai mengikuti pasangan-pasangan yang telah menikah, menggulir Instagram mereka. Foto-foto mesra bertebaran. Kisah-kisah manis yang tertulis di caption.



Dan, kita belum benar-benar berubah, masih ingin menulis di kolom komentar: "Ini baru goals, kapan ya punya pasangan kayak gini?. Kayak gini terus ya..."


Sayangnya, kita hanya melihat indahnya.


Kita tak tahu... perkelahian di balik tirai, keegoisan yang tak terkontrol, rasa lelah untuk bertahan, masalah sepele yang membesar, masalah yang tak kunjung berakhir, catatan dosa di setiap kemesraan yang diumbar, harapan akan pujian-pujian untuk menyenangkan hati mereka yang sebenarnya tak bahagia dalam hubungan ini.


You've seen it wrong all this time. Love doesn’t work like a movie.


Bukan, saya bukan ingin melenyapkan angan kita tentang cinta. Kita semua mengharapkan kisah cinta yang indah. Kita semua mengharapkan hubungan yang ketika orang-orang melihatnya, mereka akan berkomentar, “Goals banget, sih!”


Saya hanya ingin kita sedikit lebih realistis.


Bahwa cinta tidak seperti yang mereka pertontonkan di Instagram.


Karena jujur saja, saya khawatir ketika kita telah menemukan kekasih sejati, menikah dan hidup bersama nanti, kita akan menjadikan Instagram sebagai patokan kebahagiaanmu, bergumam dalam hati,

“Kenapa hubunganku nggak bisa kayak gini?

Kenapa aku punya pasangan tidak romantis, boro-boro mengucapkan sayang, membawakan belanjaan aja harus disuruh."


Kita semua hanya melihat sisi indahnya. Jangan terkecoh. Mari letakkan cinta di tempat yang tepat; karena selama ini, cinta terlalu diagung-agungkan.


We are better than love.


Diri kita lebih penting daripada cinta.


Kang Jay



Seperti ruang kosong yang tak terawat, hati kita sudah penuh debu.


Hari-hari setelah meninggalkannya tak pernah mudah. Teman-teman memang ada di sisi kita. Keluarga memang mendukung kita. Namun setiap malam, ketika sendiri di kamar, menjelang tidur, namanya muncul di kepala. Saat kita memalingkan muka, malah wajahnya yang hadir. Pada saat-saat seperti itu, hati rasanya sesak, debu-debu semakin padat dan pekat.


Lalu, kita akan melakukan berbagai cara untuk menghilangkan debu di dalam hatimu, seperti curhat bersama teman atau berbincang dengan keluarga. Dan, ketika selesai berbincang dengan mereka, memang ada kelegaan tersendiri. Debu-debu dalam hati seolah ditiup angin. “Namun, mengapa pada akhirnya, hati terasa kosong? Lagi dan lagi?’ gumam dalam hati.


“Apakah aku memang masih membutuhkannya? Ataukah aku butuh cinta yang baru?' tanya di setiap malam. Namun, logika dan hati saling serang argumen. Kembali dengannya terlalu menyakitkan. Lagi pula, emang dia masih sayang? Dia aja udah punya yang baru. Apa kita butuh cinta baru? Tetapi, kenapa ya, rasanya kayak mati rasa? Kayak udah lelah jatuh cinta lagi.


Saya ingin berkata: "Tidak, saya bukan butuh dia. Saya juga bukan butuh cinta yang baru."


Kita hanya butuh ber-dzikir.

Mulailah dari yang kita tahu. Pahami maknanya.

- Astaghfirullah, aku memohon ampun kepada Allah.

- Astaghfirullah wa atubu ilaih, aku memohon ampun kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya.

- Subhanallah wa bi hamdi subhanallahil ‘azhim, Maha Suci Allah dan segala puji bagi-Nya. Maha Suci Allah yang Maha Agung.

Telusuri kandungannya melalui sumber-sumber terpercaya, benahi pelafalannya, lalu maknai dalam hati.


Karena banyak yang telah merasakannya: Di balik dzikir, ada sebuah ketenangan permanen, sangat mengena di hati. Seperti menghirup udara di kala fajar, tiupan angin sejuk di tengah kemarau, menatap danau yang tenang, tidur nyenyak di malam hari dengan hiasan mimpi indah.


Mungkin saat bibir kita mulai melantunkan zikir, rasanya masih biasa saja. Namun teruskanlah, ucapkanlah, jangan menyerah, maknai maknanya, ingat janji-janji Allah di setiap zikir yang kita lantunkan, dan janji Allah adalah benar. Seperti mendung yang mengawali hujan, segala sesuatu butuh proses. Seperti batu yang melapuk, segala sesuatu butuh waktu. Tak apa-apa jika di menit-menit pertama kita belum merasakan ketenangan itu. Teruskan saja, luruskan niatmu. Nanti, perlahan-lahan, hati kita akan melunak.


Dan, saat itulah ketenangan menyebar di seluruh hati. Ini ketenangan yang nyata dan berbeda. Rasanya lebih indah dari berjumpa dengan kawan lama, lebih indah dari rasa jatuh cinta, lebih indah dari distraksi-distraksi lain.



Tahukah mengapa kita merasa tenang seindah itu? Menurut pengalaman saya, karena dzikir ini adalah satu dari sekian amalan ibadah yang kita lakukan sendirian, tanpa seorang pun tahu, hanya untuk Allah, Tuhan pencipta langit dan bumi dan apa pun di antara keduanya. Menurut saya juga, karena dzikir ini adalah satu dari sekian hal yang yang balasannya tak hanya di dunia, melalui ketenangan ini, melainkan juga sesuatu yang kita bawa hingga akhirat, yang balasannya, mudah mudahan, kita terima dengan sempurna di akhirat. Sehingga hati kita terasa lebih terjamin.


Mudah-mudahan, ini jadi satu dari sekian ibadah yang menyelamatkan kita di dunia ini dan juga di akhirat kelak. Aamiin.


Kang Jay


Di dalam kamarnya, gadis itu sedang membuka Instagram. Dia mengunjungi sebuah profile, dan... foto-foto cantik tersebar di layar ponsel. Pujian yang bertumpuk di kolom komentar, dan ada hati yang diam-diam iri.



“Dia cantik banget, sih.”

“Body goals.”

“Coba kalau kulitku seputih dan semulus ini.”

“Enak, ya. Nggak usah mikirin soal jodoh. Siapa aja pasti mau sama dia. "


Lalu, dia mengunjungi profile-profile yang lain. Kecantikan-kecantikan lain. Pujian yang lebih banyak. Hati yang lebih iri.


Lelah dengan hati yang iri, gadis itu keluar dari lnstagram. Beranjak dari tempat tidurnya, menyalakan lampu kamar, melangkah menuju cermin, lalu mata gadis itu menatap ke dalam cermin. Satu langkah, ia mendekat. Dan, mata itu berubah kritis.


“Gila, ya, gue jelek banget. "


Dia mengarahkan wajahnya lebih dekat dengan cermin, mematut kanan-kiri. “Aduh, kok bekas jerawat nggak hilang-hilang sih?”


Dia menatap perutnya, menggenggam lemak di sana. Tak bisa bicara, hanya menarik napas yang terasa sesak.


"Siapa yang mau sama orang kayak aku..."


Dia berjalan mundur, menjauhi cermin, dan beragam macam suara bermain di kepalanya.


Emang ada yang mau sama kamu?


Fisik kurang oke. Pintar enggak. Kaya juga kagak. Belum lagi kekurangan lainnya.


Bisa apa kamu emangnya?

Kamu nggak menarik.


Dan, dia duduk tersungkur di ujung tempat tidurnya. Kecemasan mencekiknya, membuat dadanya terasa penuh hingga bernapas pun terasa berat. "Siapa yang bakal memilih orang seperti aku?".


Aku tahu kau sedang merasakan ini.


Masalahnya, telah lama kau menutup mata. Sibuk memperhatikan kehidupan gadis-gadis lain yang lebih cantik di Medsos. Coba, sesekali lihatlah sekelilingmu. Tak perlu jauh-jauh. Tengok sekitar. Kau akan menemukan orang-orang dengan berbagai ras, warna kulit, ukuran dan bentuk tubuh. Pada akhirnya, mereka akan menemukan pasangan mereka.


Di dunia ini, ada orang-orang yang menjadikan fisik lawan jenis sebagai segalanya. Ya sudah, biarkan mereka, kau tak perlu memedulikan mereka. Hapus mereka dari daftar calon pendampingmu. Ada penilaian yang lebih berharga daripada fisik. Namun, kau juga harus berhenti menilai seseorang berdasarkan fisiknya. Bukankah kau tak suka dinilai berdasarkan fisik? Maka, jangan jadikan tisik sebagai segalanya. Termasuk bagaimana kau melihat dirimu. Apreasiasi dirimu. Syukuri bagaimana kau telah diciptakan. Tuhan yang Maha Esa lebih tahu tentang penciptaan Nya. Selalu ada hikmah tersembunyi yang belum kita lihat hari ini.


Masih tentang fisik, lihatlah berita-berita di internet: apakah ketampanan dan kecantikan adalah jaminan menemukan pasangan yang membahagiakan? Bila ya, tentu, kita tak perlu mendengar kisah perceraian dari orang orang kelas atas. Kaya, tampan dan cantik, populer, tetapi hidupnya berantakan. Fisik tak pernah jadi jaminan.


Kabar baiknya, di luar sana, ada seseorang yang ketika melihat dirimu, dia akan bergumam, “Dia tipeku.”


Namun, mengapa kebahagiaan kita harus divalidasi oleh seseorang lain?


Mengapa kita tidak berdiri di depan cermin, melihat berbagai kelebihan dan kekurangan yang ada pada fisik kita, dan bersyukur pada apa yang telah kita miliki?


Mencintai menghargai mulai dari dirimu, untuk dirimu sendiri. Jika kamu saja tidak bisa mencintai diri sendiri, bagaimana orang lain bisa jatuh cinta kepada dirimu? Hidup terlalu singkat untuk meratapi kekurangan. Fokuslah pada kelebihanmu dan rangkul dirimu secara utuh.


Saya doakan eneng dan teteh disini segera mendapat jodohnya, namun pelan-pelan teliti bobot bibit bebetnya. Untuk pria, jangan juga mengambil jalan pintas seperti dibawah ini, namun buktikan dengan kerja kerasmu bahwa kamu layak menjadi pria tulen yang sukses.


Btw, jadi giung pisan nyak. Kalau yang tua-tua kayak aku bisa kagak ya, just wondering..


Kang Jay


Ada seorang gadis di Kamis pagi ini.

Sudah pukul sembilan pagi, dia belum beranjak dari tempat tidurnya. Berbaring, menatap layar ponsel dan jarinya menggulir linimasa Instagram.



Lalu, dia berhenti pada satu foto. Seorang laki-laki tampan berdiri tegap dengan latar masjid dan nuansa cahaya menyeruak masuk, dia menatap kesamping atas.



Gadis itu tanpa disadarinya tersenyum sendiri. Sesungguhnya, gadis itu jatuh hati kepada laki-laki ini. Siapa yang tak jatuh hati dengan laki-laki ini? Dia tampan, tetapi itu bukan faktor utama. Lewat Instagram, dia selalu membagikan pengingat-pengingat baik yang menenangkan hati. Dia selalu mengingatkan para followers untuk tak meninggalkan sholat lima waktu. Suaranya merdu saat melantunkan Alquran. Dari apa yang gadis itu lihat, pemuda itu sepertinya rajin beribadah, memiliki ilmu agama yang baik, such a husband material every woman needs.


Sering kali, gadis itu membayangkan kehidupan setelah pernikahan, bersama laki-laki itu.... Mendengarkan suara merdu laki-laki itu setiap malam, juga membacakan surat favoritnya. Sayangnya, gadis itu bahkan tak pernah membuka Alquran untuk membaca surat favoritnya itu.


Dibangunkan sebelum azan subuh oleh laki-laki idamannya. Sayangnya, gadis itu bahkan tak pernah berusaha untuk salat subuh, kecuali ketika dia sedang ingin. Senantiasa diingatkan untuk salat lima waktu oleh laki-laki idamannya. Sayangnya, gadis itu hanya mendirikan salat ketika dia tak malas.


Merasa teduh membayangkan menjadi istri yang taat pada laki-laki yang taat. Sayangnya, pada orangtuanya, dia bahkan tak pernah belajar menjadi anak yang taat. Di Kamis pagi ini, dia menuliskan kriteria jodohnya di dalam kepala. Nggak merokok. Harus rajin salat lima waktu. Paham agama. Pengertian. Nggak emosional. Tinggi dan berdada bidang. Dan, bla, bla, bla. Indah-indah semua kriterianya.


Kemudian, ada seorang gadis lain di Kamis pagi, tanggal 2 April 2020.

Di Kamis pagi ini, gadis yang lain ini tidak menuliskan kriteria jodohnya. Namun, gadis yang lain ini bangun dini hari untuk melaksanakan sholat subuh. Kemudian mandi lalu membantu ibunya di dapur, memasak sambil berbincang hangat.



Usai itu, dia membuka lnstagram, berhenti di setiap video kajian, menonton dengan tekun. Dia, kemudian berjanji dengan beberapa temannya untuk menghadiri kajian terdekat. Azan dzuhur akan berkumandang, dia persiapkan apa yang harus disiapkan.


Gadis ini tak butuh menulis kriteria jodoh. Dia telah menjadi kriteria jodoh yang baik bagi orang lain. Dan, orang lain ini adalah seorang laki-laki, yang mudah-mudahan baik agamanya, lebih baik daripada laki-laki yang gadis pertama idolakan di lnstagram.


Lalu, ada seorang gadis sedang rebahan menghadap blog AN detik ini. Gadis itu sedang membaca tulisan ini. Dia berkata kepada dirinya, “Aku harus berubah jadi baik. Biar bisa dapat jodoh yang baik.”



Lalu, gadis ini hendak beranjak dari tempat tidurnya, ingin melakukan sesuatu yang lebih bermanfaat. Namun, sebelum kau beranjak dari tempat tidurmu, saya ingin berkata kepadamu,


“Jangan berubah hanya karena Iaki-Iaki. "


Aku sangat mendukung keputusanmu untuk berubah menjadi lebih baik. Namun, janganlah kau jadikan laki-laki dan cinta sebagai alasan. Sebab laki-laki hanyalah manusia. Manusia tidak kekal. Manusia tidak sempurna. Manusia selalu mengecewakan. Dan, cinta hanyalah perasaan. Ia bisa datang dan pergi, seperti cinta dan patah hatimu yang dulu. Ia bisa pudar seperti dia yang pernah berubah tiba-tiba.


Lagi pula, di akhir hidupmu kau akan berpisah dengan dia yang amat kau cinta. Di akhir hidupmu, kau akan kembali kepada Dia yang menciptakanmu. Maka, apakah perubahanmu ini untuk jodoh yang baik, yang tak kekal dan tak sempurna?.


Bukannya saya hendak menghakimi, tetapi bukankah berubah karena masalah jodoh agak terlalu dangkal? Maksud saya, cinta dan jodoh hanya bertahan hingga hari akhir hidupmu di dunia ini. Sementara itu, kau masih punya perjalanan panjang yang misterius setelah kematian.


Maka, untuk siapa perubahan baikmu ini?


Kang Jay

advertisement
Password protected photo
Password protected photo
Password protected photo