⁣Management Suami-Istri Bekerja ditulis oleh Jayadiningrat


"Woi Kang, kami disini lagi pusing mikirin cari pasangan halal, bukan pusing mikirin rumah tangga". Ha ha ayolah ditengah kesibukan mencari pasangan disambi mempelajari bagaimana memanage keluarga kita dimasa depan menjadi baik.


Walau berkesan sederhana namun management rumah tangga ada baiknya dipelajari juga.


Memang model suami-istri sama sama bekerja ini bukan model yang umum ditemui dalam cerita dongeng, seperti cinderella dengan sang pangeran, sehingga tidak mudah mencari model panutan. Panduan keilmuan untuk model ini pun belum banyak bahkan juarang. Walau kenyataannya buanyak terjadi.


Bahkan banyak pria yang sebelumnya saklek bilang ke wanita ta'arufnya, "Saya ingin istri seorang ibu rumah tangga". Titik tidak pake koma. Si wanita karena sudah suka dan kagum, mengiyakan sambil ngomong dalam hati, "Yah gimana entar aja, cari cowok model 'dapuran' ginian yang baik dan mapan itu susah, bodo amat", ha ha ha. Ee setelah berjalannya waktu ternyata benar dibenak sang wanita tentang "gimana entar", akhirnya si pria menyadari bahwa istri bekerja ada baiknya juga. What next setelah dapat lampu hijau?.


Memang kalau saya, dulu, menerapkan model konvensional suami bekerja istri ibu rumah tangga. Karena istri memang tidak suka bekerja diluar. Namun saat ini saat saya jomblo mulai memikirkan model suami-istri bekerja, dengan simulasi jika saya mendapatkan istri bekerja atau istri yang ingin bekerja setelah nikah. Walau terdengar aneh, istri ingin bekerja setelah nikah, tapi kan bisa saja terjadi ha ha ha.


Lalu pemikiran berikutnya, untuk suami-istri bekerja apakah bisa urusan keluarga dan pekerjaan dibalance?.


Saat ini semakin banyak suami istri sama-sama bekerja. Sebabnya bisa macam-macam. Seperti: si istri sudah terlanjur bekerja sejak sebelum menikah, terlanjur punya karir bagus di tempat kerja. Atau dari keluarga yang sangat concern dengan pendidikan sehingga saat dewasa, dia terinspirasi perempuan-perempuan yang berkiprah di wilayah publik seperti Sri Mulyani, Marie Elka Pangestu, dll.


Sementara, si suami biasanya memberi ijin istrinya untuk bekerja, karena: memahami harapan tinggi orang tua istri yang menyekolahkan anaknya sampai tingkat tinggi, memahami bahwa istrinya punya potensi untuk berkembang dalam karir, memahami istrinya ingin independen secara finansial, atau untuk menghindari kemungkinan terburuk yang bisa saja terjadi di kemudian hari misal suami meninggal atau kena PHK.


Jadi, istri bekerja itu bukan semata-mata masalah aktualisasi, gengsi atau sekedar masalah finansial. Barangkali ada cerita panjang di balik itu semua.


Meski suami-istri sama-sama bekerja, seringkali tipe manajemen yang diterapkan masih tipe manajemen model istri di rumah-bapak bekerja, di mana suami berharap mendapat pelayanan seperti suami yang lain yang istrinya IRT. Suami memfokuskan diri mencari nafkah dan menyerahkan sepenuhnya urusan rumah tangga pada istrinya. Si istri pasrah saja dengan keputusan suami, karena memang biasanya keluarga lain juga begitu.


Namun karena si istri bekerja, tidak banyak waktu yang dia miliki untuk mengurus pekerjaan rumah yang seabrek itu; mulai urusan baju kotor, masak, bersih-bersih, halaman, sepeda rusak, rekening listrik, acara arisan RT, antar jemput anak, dsb. Akhirnya istri membutuhkan “perpanjangan tangan”, yaitu pembantu atau orangtuanya.


Jika menilik soal mempunyai anak, dengan kemajuan teknologi sekarang ini, tidak perlu lagi seorang ibu yang melahirkan untuk istirahat berlama-lama. Luka Operasi Caesar bisa kering dalam hitungan hari. Tak jarang seorang ibu sudah bisa bekerja seminggu setelah melahirkan. Namun bagaimana dengan mengasuh anak?.


Mencari pembantu yang pintar, cekatan, jujur, tanggung jawab dan bisa dipercaya tidaklah mudah. Kalaupun ada yang seperti itu, dia akan berpikir 100x untuk jadi pembantu. Akhirnya yang jadi pembantu itu biasanya yang sulit diterima kerja di mana-mana.


Alternatif lain yaitu orangtua istri/suami yang turun membantu. Namun bagaimana pun juga, gaya didik antar generasi bisa jadi berbeda. Belum lagi sindrom nenek/kakek terlalu sayang atau tidak tegaan sehingga cenderung memanjakan cucu. Bantuan ini adalah bantuan luar biasa yang harus dihargai, kasihan sebenarnya, bahkan saya pernah dengar ceramah dengan KH Anwar Zahid, beliau selalu mewanti-wanti jamaatnya untuk balikin cucumu ke orang tuanya, itu tanggung jawab mereka, kakek neneknya saatnya istirahat.


Kalau kedua alternative diatas susah atau kasihan, maka terpaksa pasrah bawa ke lembaga profesional seperti child care atau tempat penitipan anak. Kelebihan di lembaga seperti ini yaitu komplain bisa diterima, karena memang ada biaya yang dibayar untuk harapan pelayanan yang profesional. Coba bayangkan jika complain ke orang tua yang tentu segan, atau complain ke pembantu dengan kapasitas kemampuannya yang terbatas.


Kerepotan urusan rumah tangga ini menyebabkan waktu istri untuk bekerja berkurang secara signifikan dibanding saat sebelum menikah atau sebelum punya anak. Jika sebelumnya si istri bisa bekerja sepuas hati dan sebebas merpati, kini waktunya menjadi terbatasi waktu untuk keluarga. Istri tak lagi bisa kerja lembur. Banyak kesempatan yang lewat di depan mata, tidak bisa diraih karena keterbatasan waktu. Kualitas kerja jadi terasa kurang maksimal. Kondisi ini semakin menyulut stress saat menyadari rekan kerja yang lain melesat jauh lebih cepat.


Situasi seperti ini bisa menyebabkan istri pekerja mudah uring-uringan. Biasanya tergelitik untuk menyalahkan suami bahkab anak. Bahkan bukannya kebahagiaan rumah tangga yang didapat, namun percekcokan2 antara suami istri yang sama sama merasa bekerja. Ini semua karena manajemen yang amburadul, istri seakan merasa semua pekerjaan rumah di dia. Bahkan jika tidak dimanage maka bisa terjadi perceraian, karena istri merasa toh tidak ada suami juga semua bisa dihandle sendiri baik mencari nafkah maupun mengurus rumah.


Saya jadi ingat, adik perempuan saya yang pekerja keras, suatu saat ketika emosinya di puncak karena stres dengan semua kesibukan, menyuruh suaminya pergi membawa sekalian anak-anak dari rumah, tentu efek stres akut ini tidak diharapkan.


Memang jika terjadi ketidak-seimbangan dalam keluarga seperti ini, saran yang paling sering muncul adalah himbauan pada Istri untuk keluar dari pekerjaannya dan berkonsentrasi mengurus rumah tangga. Bahkan ada yang menyarankan: “Jangan pernah berusaha menyeimbangkan urusan rumah tangga dan karir. Karena itu tidak mungkin. Pilih salah satu.”


Herannya, tidak banyak yang menyarankan agar Suami lebih banyak meluangkan waktu untuk turun membantu membereskan masalah rumah tangga. Konsep suami adalah ‘pemimpin’ istri rawan disalah tafsirkan sebagai suami bebas mengatur istri semaunya, tanpa perlu mendengarkan pendapat istri dan berempati terhadap keadaannya. Pemimpin yang baik seharusnya pemimpin yang bisa berempati, dan tidak hanya menggunakan dalil agama sebagai tameng egoisme.


Pada model istri-suami bekerja ini, baik suami atau istri seharusnya paham betul akan keterbatasan masing-masing. Suami memahami bahwa istrinya bekerja, sehingga waktu untuk keluarga terbatas, maka tidak seharusnya menerapkan standar pelayanan ibu rumah tangga pada istrinya. Sebaliknya, suami perlu membantu istri mengurus pekerjaan rumah tangga. Sayangnya dimasyarakat kita, masih banyak yang berkomentar “iba” saat ada suami yang memasak, mencuci baju, atau memandikan anak. Biasanya yang berkomentar iba ini ibu si suami, saudara si suami, teman si suami, atau rekan kerja suami. Komentar iba pada situasi ini rawan menjadi komentar yang kurang semestinya, karena bisa jadi si istri juga tak kalah capeknya.


Adalah hal yang sangat rasional jika tugas-tugas kerumahtanggaan perlu didiskusikan dan didistribusikan. Ritual pagi suami untuk “sruput kopi plus baca koran pagi-pagi” boleh-boleh saja dilakukan jika tugas pagi sudah ditunaikan, dan istri sudah memastikan tidak ada lagi yang perlu dibantu. Sungguh kurang adil jika di satu sisi si istri multi tasking; kerepotan masak, memandikan anak, menyuapi anak, menyiapkan bekal ke kantor dan sekolah… sementara si suami enjoy ngopi-ngopi sambil baca koran yah peaceful life he he… Walau mungkin tidak salah-salah banget suami, tapi berempatilah sedikit.


Saran saya, tugas kerumahtanggaan suami ini sebaiknya MENGIKAT. Bukan tugas yang boleh dikerjakan boleh tidak, tergantung kelonggaran waktu dan mood. Karena kalau demikian, beban pikiran akan pekerjaan itu tetap ada di pundak istri. Padahal meski belum dikerjakan, jika ada kepastian bahwa istri tidak perlu mengerjakan tugas A,B,C,… karena tugas itu akan dikerjakan suami, hal itu sudah sangat mengurangi beban stress sang istri. Semisal mencuci dan menjemur baju dikerjakan suami, namun men-setrika dikerjakan istri. Artinya jika suami tidak mencuci maka baju tetap teronggok kotor menumpuk, bukan berarti istri mengambil alih perkerjaan itu.


Konsep ini sebenarnya bisa juga diterapkan ke anak yang sudah remaja, saya inget ibu saya membagi tugas kami anak-anaknya. Pekerjaan saya adalah mencuci piring dan perkakas dapur lainnya, terserah piring atau gelas kotor banyak maka tugas itu tetap disaya. Saya tidak mencuci piring = piring bersih sedikit, anggota keluarga lain bisa marah ke saya karena itu tanggung jawab saya.


Lanjut, di sisi lain, istri juga harus bisa menghargai bahwa suaminya sudah berkorban dengan tidak mematok standar ibu rumah tangga padanya. Istri-bekerja perlu merasionalisasi target karir atau pekerjaannya, disesuaikan dengan alokasi waktu untuk keluarga. Istri–bekerja tidak perlu merasa karirnya terlalu lambat saat tidak bisa mencapai target setinggi rekan yang lain. Istri-bekerja tidak sepatutnya membandingkan diri dengan pencapaian rekan kerja pria-nya dimana istrinya IRT, atau rekannya yang single, di mana dia mungkin bisa bekerja lembur semaunya. Masa depan keluarga dan anak-anak akan menjadi satu pencapaian tersendiri yang tak kalah pentingnya.


Hidup ini harus balance, termasuk antara keluarga dan pekerjaan. Baik istri atau suami bekerja, seharusnya tidak perlu merasa bersalah jika tidak bisa mengikuti rapat mendadak yang diadakan seusai jam kerja. Asalkan tugas sudah dipenuhi sesuai standar, masalah keluarga lebih penting. Jika ternyata suami atau istri berbaik hati mengijinkan pasangannya bekerja overtime, maka ia harus berjanji memberi hadiah setimpal. Hargai pengorbanannya. Jangan kemudian egois karena bekerja overtime maka mengabaikan tugas masing-masing yang sudah disepakati. Jikapun harus melimpahkan tugas itu, maka memintalah kepasangan kita dengan baik-baik.


Jika suami-istri bisa menghargai posisi masing-masing, ada pembagian tugas kerumah tanggaan yang jelas, plus lingkungan kerja mendukung; maka model suami-istri sama-sama bekerja ini pun bisa menjadi model ideal. Baik suami maupun istri perlu sedikit berkorban untuk menyesuaikan diri dengan kondisi ini. Namun, tidak ada yang perlu jadi martir. Istri tidak perlu berhenti bekerja, jika di situ ia bisa berkarya untuk dunia. Tidak ada yang tahu kan bisa jadi sang istri bisa mengubah dunia dan suaminya pasti laki-laki hebat nan bijaksana.


Maaf ini blog terpanjang ya he he. Saya paham pembaca suka melihat judul, awal dan akhir bacaan. Maka mangga bagi yang kuat baca, dibaca pelan-pelan. Jika tidak, bisa baca paragraf akhir diatas sebagai kesimpulannya.


Ketikan diatas diramu dari berbagai sumber dan literatur.


Kang Jay.


Post Sebelumnya     
     Next post
     Blog Home

Dinding Komentar

Belum ada komentar
You need to sign in to comment
advertisement
Password protected photo
Password protected photo
Password protected photo