Kenangan Lebaran Tahun Lalu ditulis oleh Jayadiningrat


Ini bukan kisah hidupku, namun akan kuceritakam kisah yang mengharu biru:


"Lagi apa Aa disana?" Suara ibuku di ujung telefon. "Lagi rebahan, Ma," jawabku jujur.
"Lebaran ini pulang? Mama dan Abah rindu," kata Ibuku. Nada suaranya pilu.


"Aku mohon maaf Ma, dan mohon keridhaan Mama dan Abah, aku tak bisa berkumpul lebaran ini, Ma," jawabku. Wabah Corona dan aturan PSBB memang tidak memungkinkan untuk sembarangan pulang kampung.


"Apa kabar Ani?" tanya ibuku. Seketika, pertanyaan itu membuat lidahku kelu. Membuat jantungku berdegup tak beraturan.


"Belum komunikasi lagi, Ma," jawabku. Selanjutnya ibuku bercerita tentang rasa rindunya kepada sang mantan mantu, "Dulu, berapa hari sebelum lebaran, pasti Ani bantu Mama pilihkan model pakaian lebaran..." Aku lebih memilih diam.


"Ya sudah, kamu baik-baik ya di sana kalau memang tidak bisa mudik." "Iya, Ma, kita saling mendoakan saja ya Ma" kataku sekenanya.


Ibuku menutup sambungan telefon setelah menyampaikan beberapa pesan ampuh bagi anak keduanya. Meskipun sudah berusia 35 tahun, ibuku selalu memiliki pesan khusus untuk kami lima bersaudara.


Langit Depok terlihat muram. Hujan turun deras sejak tadi pagi. Aku kembali meneruskan aktivitasku, rebahan di kamarku yang hanya berukuran 4x4. Kamar kost yang kutinggali enam bulan terakhir ini.


Entah kenapa, hari ini rasanya aku terlalu malas. Tidak ada satu pun pekerjaan yang aku selesaikan padahal waktu sudah hampir pukul 12, walau WFH biasanya aku sudah duduk manis setengah hari mengerjakan beberapa tugas. Separuh hari, kubuang dengan cara yang sia-sia.


Adzan berkumandang, memanggil untuk bersiap menghadap Sang Maha Kuasa. Aku melangkahkan kaki. Walau terasa enggan aku selalu mencoba untuk memaksakan memenuhi panggilan-Nya di waktu terbaik.


Sudah sesiang ini, artinya waktu puasa di hari ini tinggal setengah. Lebaranpun tinggal dua hari lagi. Ah, lebaran ini akan sangat jauh berbeda dengan yang sebelumnya. Bukan hanya karena adanya PSBB dan wabah Corona. Ada hal lain yang lebih membuatku merasa bahwa Lebaran ini jauh berbeda.


Aku mengambil air wudhu. Menggelar sajadah melakukan sholat empat rakaat. Aku sholat, dengan penuh kesungguhan. Sujudku kupersembahkan kepada sang Maha Kuasa, Maha pengatur jagat raya dan semua yang terjadi di dalamnya. Aku benar-benar merasa kecil dan tidak berguna.


Tidak terasa, ada air mata yang terurai, kesedihan menjalar. Aku tidak lagi bisa menahan tangis, sisi kelelakianku ambrol.




Kata-kata Mamaku tentang Ani membuatku menangis hari ini, hari sebelum lebaran, ada kehilangan yang begitu besar dalam hati. Bayangan Ani memenuhi kepalaku.


Teringat perkataanku waktu itu, "Aku talak kamu, dan kita tidak akan bisa lagi bersama.".


Kalimat itu yang membuat aku menjadi begini hari ini. Tentunya kalimat itu pula yang membuat Ani hancur lebur. Ya Tuhan, maafkan lidah ini, maafkan apa yang telah aku ucap.


Terbayang sudah, wajah Ani yang pucat pasi, matanya tidak lagi bersinar, Istriku menangis sepanjang malam karena ulah dan perkataanku. Ani bersimpuh di kakiku, berlutut dan memohon aku menarik kalimat itu. Namun apa daya, kalimat itu bukan lagi kalimat yang Pertama dan Kedua kali, itu adalah yang Ketiga. Dimana kami tidak mungkin rujuk lagi. Aku menyerah pada keadaan, mungkin Tuhan memang sudah tidak mengizinkan kami bersama lagi.


Aku memutuskan meninggalkannya kala itu karena aku pun ingin menjaganya, tak lagi mau menyakitinya.
Ah Ani, sampai saat ini aku masih sangat menyayangimu. Namun apa daya, sudah terlalu sering kita bertengkar bukan?.


Lebaran tahun lalu, kita masih bisa bersama, saling mengunjungi ke sesama saudara. Ani engkau kugandeng dengan bangga, bergamis panjang dan kerudung yang dipadu padan dengan cantiknya. Baju kami pun sama warnanya. Kami selalu percaya bahwa cinta yang kami miliki kuat adanya. Kemudian sesampai dirumah, kitapun berpelukan dan kemudian Ani mencium tanganku sambil meminta maaf atas kesalahannya setahun lalu, akupun begitu. Namun kali ini sudah tidak bisa bersama lagi. Ani di sana dan aku di sini dengan rasa kehilangan yang sama.


"Sudah sahur belum? Makan sama apa buka puasanya? Lekas beli penanak nasi, biar sahur bisa makan nasi hangat!" ujar Ani. Bawelnya tidak pernah hilang. Walaupun sudah tidak bersama lagi, Ani masih sempat mengingatkanku.


Ah, aku rindu saat-saat itu.


Sore hari, jika udara cerah, kami jalan-jalan ngabuburit, mencari penganan untuk takjil. Atau, sesekali istriku mendadak sangat repot dengan bahan masakan yang akan akan dibuatnya, akhirnya aku terpaksa pergi sendirian mencari kolak. Meninggalkannya bertempur di dapur menyelesaikan menu santapan berbuka kami.


Kalau hujan deras, kami akan memilih untuk diam di rumah, memasak apa saja yang ada di kulkas. Hebatnya, Ani selalu bisa membuat makanan enak walau bahan seadanya.


Kini, hujan turun juga, Ani. Namun kita tidak lagi memasak bersama membuat menu berbuka. Ani, kamu sedang apa di sana? Adakah kamu mengingatku seperti aku mengingat semua tentang dirimu?.


Kadang, jika boleh meminta, ingin rasanya kembali ke masa lalu, memperbaiki semuanya. Tidak akan pernah aku sia-siakan dia. Akan aku didik, aku jaga, aku bimbing dengan sepenuh tanggungjawabku. Mungkin kini aku tidak perlu melihatnya susah payah bekerja untuk menafkahi dirinya sendiri.


Ani, sekali lagi, maafkan aku.


Ani, yang kadang keras kepala dengan keinginannya, rasanya ingin aku meminta maaf berkali-kali, jika aku tidak cukup bersabar menjadi pendamping terbaik. Namun aku yakin, dan aku pun merasakan betul, cinta Ani masih begitu besar kepadaku. Aku yakin, tidak akan pernah ada benci dalam hatimu, begitu pula denganku, aku tidak pernah menyimpan dendam padanya.


Hanya saja aku telah mengambil keputusan Ketiga itu.


"Kamu mau aku bantu carikan penggantiku?" ujarnya lewat sebuah pesan WA.


Tanpa sadar, aku pun memintanya mencarikannya, dengan nada yang lapang Ani pun mengiyakan dan siap mencarikan. Ketika aku sadar diri dan mengenang beberapa kejadian yang membuat aku cemburu, hari ini pasti aku telah melukai hatinya.


Ani, maafkan jika aku sudah membuatmu merasakan cemburu dengan bahasan tentang calon istri baruku.


Sajadah sudah kulipat lagi. Aku kembali beranjak ke tempat tidur. Berbaring lagi, melamunkan sosoknya. Takdir tidak bisa berubah begitu saja, apa yang sudah terjadi akan sulit diperbaiki dan terulang kembali. Ani akan tetap menjadi dirinya yang sekarang, dan aku pun akan tetap menjadi diriku yang saat ini masih terus kupelajari.


Ya, aku tidak akan pernah berhenti belajar menerima keadaan diri. Berjuta cara, aku selalu berusaha untuk memperbaiki diri dan tidak mengulang kesalahan yang sama.


Untuk Ani, ada rangkaian doa yang selalu aku panjatkan. Semoga dia mendapatkan pasangan yang jauh lebih baik daripadaku.


Terima kasih, Ani.


Kang Jay


Post Sebelumnya     
     Next post
     Blog Home

Dinding Komentar

Belum ada komentar
You need to sign in to comment
advertisement
Password protected photo
Password protected photo
Password protected photo