⁣Jangan Kita Salah Menyembah ditulis oleh Jayadiningrat


Seorang murid mendatangi gurunya, “Ustaz, puluhan tahun saya beribadah kepada Allah. Setiap hari saya menyembahNya. Setiap saat saya taati perintah-Nya dan jauhi laranganNya. Tapi mengapa hidup saya begini-begini saja, bahkan jodoh pun tidak ada yang mendekat, tidak ada perubahan yang saya rasakan?”


Dengan wajah datar, sang guru menyimak kalimat demi kalimat yang diucapkan oleh muridnya.


“Ustaz, katanya Allah mengabulkan doa orang yang salat tahajud. Katanya Allah mencukupkan rezeki orang yang salat duha. Katanya Allah melipatgandakan harta orang yang bersedekah. Katanya Allah tak akan menolak hajat orang yang berpuasa. Mana buktinya? Saya beribadah puluhan tahun, nyatanya nasib saya sama saja, tak ada yang berubah."


Sang guru masih dengan sabar mendengarkan ricauan muridnya itu.


“Ustaz, tolong jelaskan, apa sebenarnya maunya Allah?"


Sang guru memulai nasihatnya dengan senyum, “Nak, sebenarnya apa yang paling kauinginkan dari ibadahmu?”


Sang murid diam.


Sang guru menegaskan pertanyaannya, “Nak, sebenarnya apa yang paling kauharapkan dari semua amalan-amalanmu? Apakah semua ibadahmu selama ini agar Tuhan memberikanmu jodoh yang membahagiakanmu? harta yang berlimpah? Nak, Tuhanmu itu Allah. Bukan dunia. Jika engkau melakukan ibadah-ibadah itu demi kesenangan dunia, lantas sebenarnya siapa atau apa yang sedang kamu sembah, Nak? Allah atau dunia?”


Sang murid menyimak nasihat gurunya.


“Nak, jangan kau salah menyembah. Ketika kau salat, bukankah berkali-kali kau ucap kalimat tauhid ‘Laa ilaaha illallaah'? Jika kau renungi kalimat itu dalam-dalam, kau pun akan menemukan pengakuan yang mahadahsyat: tak ada satu pun Zat yang layak disembah, diutamakan, dipentingkan, selain Allah taala. Maka ketika yang kau menangkan adalah nafsu, bukankah hakikatnya nafsu mengalahkan ketakutanmu pada Allah? Jika yang kau utamakan adalah pekerjaanmu, bukankah hakikatnya pekerjaan mengalahkan kecintaanmu pada Allah? Lantas pertanyaannya, sebenarnya siapa yang kau tuhankan, Nak, siapa?" ketika kedudukan dunia di hati manusia telah lebih kita utamakan, bukankah itu berarti menjadikan berhala yang kita sembah?.


Saudaraku, fondasi keislaman kita adalah tauhid dan dalam kalimat tauhid tersimpan konsekuensi yang tak remeh. Ketika kita mengucap laa ilaaha iIIaIlaah, saat itu pula kita sedang berikrar untuk tidak akan mengutamakan selain-Nya. Tapi kenyataannya, mengapa kita menuhankan beragam hal yang menghalangi kita menghamba secara total kepada-Nya?


Saya teringat dengan nasihat K.H. Mustofa Bisri yang mengungkapkan hal senada. Beliau mengungkapkan, sering kali dalam kehidupan sehari-hari, Allah-Tuhan yang sebenarnya-dikalahkan oleh 'tuhan-tuhan sekutu” seperti harta, jodoh, perempuan, kedudukan, jabatan, dan sebagainya. Dan di antara ‘tuhan-tuhan sekutu’ yang sering dipuja dan diikuti, yang paling gawat dan jarang disadari adalah 'tuhan' yang berupa diri sendiri.


Orang yang mempertuhankan uang, jabatan, atau perempuan, misalnya, mungkin akan mudah sadar bila diingatkan dan diyakinkan akan kenyataan betapa lemah dan sementaranya yang mereka puja dan perturutkan itu. Misal saat kehilangan jabatan, uang habis dihambur-hamburkan anak istri, atau istri yang disayang selingkuh kemudian minta cerai, kenyataan itu bisa menyadarkan dirinya.


Namun mereka yang mempertuhankan diri mereka sendiri, akan lebih sulit disadarkan, sebab mereka tidak gampang mendengarkan orang lain.


Pada kenyataannya Allah juga tidak mengecewakan kita, disetiap doa insya Allah selalu ada jawaban, hanya kita saja yang bodoh terkadang tidak sadar jawaban Tuhan. Untuk saya sendiri pernah punya pengalaman hidup, suatu saat dimasa lalu pada keadaan miskin, bersama istri tinggal dirumah kontrakan yang sempit di gang yang harum bau selokan. Setiap hari berdoa kepada Allah agar diberi kekayaan, saya pun sadar saat itu seakan saya menghambakan harta, berdoa siang malam dengan maksud dan tujuan "harta". Maka Allah beri kenikmatan harta dengan bisa beli beberapa rumah dan apartemen. Itu melenakan, disaat terpenuhi dan mulai bosan, malah seakan melupakan Tuhan; dimana tiap hari berdoa dengan khusyuk, puluhan ribu dzikir dan sholawat dilantunkan sampai subuh, puluhan rakaat sholat sunnah di tengah malam, puluhan juz bacaan disiang hari, sholat duha tak pernah terlewat, puasa senin-kamis, namun semua itu perlahan ditinggalkan. Sedih rasanya teringat itu semua. Mengapa diriku dulu mencari Allah karena dunia bukan menyembah Allah secara kaffah. Apa ini ujian agar tersadar bahwa apalah artinya harta, jika kemudian sakit dan meninggal ternyata tidak dibawa mati, apalagi jika yang tersayang mendahului yang malah meninggalkan kesedihan yang mendalam disisa umur kita.


But anyway, lupakan saya, kita lanjutkan kembali, majalah SWA, salah satu majalah bisnis terbesar di Indonesia, pernah merilis sebuah survei yang menurut saya cukup menarik untuk diperbincangkan. Dalam survei itu ditanyakan kepada kaum profesional, bisnisman, serta orang-orang yang bergelut di birokrasi, yah orang berpenghasilan menengah keatas

Ditanya apa aktivitas sehari-sehari yang selama ini mampu membuat mereka bahagia?


Inilah jawaban mereka:

1. Saat berkumpul dengan keluarga

2. Tidur/istirahat

3. Travelling

4. Nonton televisi atau bioskop

5. Shopping

6. Bekerja

7. Memasak

8. Olahraga

9. Membaca

10. Bersosialisasi dengan masyarakat

11. Bersosialisasi di dunia maya

12. Mengurus anak

13. Mendengar musik

14. Berkumpul dengan teman-teman

15. Bermain games

16. Santai

17. Melaksanakan ritual keagamaan

18. Berbagi cerita atau pengalaman

19. Lainnya


Hasil survei ternyata menarik untuk kita diskusikan. Berkumpul dengan keluarga ternyata menempati urutan pertama, maka bisa kita maklumi jika momentum mudik adalah saat yang sangat ditunggu-tunggu oleh mereka yang beraktivitas di rantau. Karena ini menjadi hal yang membahagiakan dalam hidup mereka. Mereka belajar, bekerja, berusaha, berjuang di kota lain, salah satu motivasinya adalah untuk membahagiakan keluarganya. Mereka rela untuk hidup susah di kota lain dengan semboyan, pantang pulang sebelum sukses. Semua itu dilakukan demi membahagiakan keluarganya. Maka rasanya wajar jika berkumpul dengan keluarga adalah saat yang sangat dinanti oleh mereka.


Atau juga saat ini disaat kita Work from Home, terasa nikmatnya berkumpul dengan keluarga. Saya suka melihat anak buah saya diseberang sana saat net meeting via Zoom, saat anak-anaknya menggoda bapaknya, namun bapaknya tidak langsung marah mengusir pergi namun dengan sigap malah memangku anaknya, terlihat pancaran kebahagiaan saat net meeting itu berlangsung walau sering terdengar kericuhan suara anak-anak.


Namun saya pun maklum tidak semua orang selalu bahagia saat berkumpul dengan keluarga, bisa kita lihat bahwa saat banyak waktu berkumpul dengan keluarga seperti di China saat isolasi Corona, malah angka perceraian meningkat pesat. Ketika menghabiskan banyak waktu bersama selama masa isolasi, ternyata beberapa pasangan malah jadi sering bertengkar. Mereka cenderung berargumen karena sesuatu yang remeh temeh dan ingin cepat-cepat bercerai. Adakalanya memang memisahkan waktu besama pasangan, dan waktu untuk diri sendiri malah akan menambah kualitas pernikahan.


Saya tidak akan membahas satu per satu dari item tersebut. Saya tertarik untuk langsung meloncat ke pilihan nomor tujuh belas, yakni melaksanakan ritual keagamaan. Mungkin ada sebagian orang yang ketika membaca hasil survei ini lantas mengelus dada, kok bisa-bisanya hubungan dengan Tuhan ada di urutan yang hampir buncit, kalah dengan berkumpul dengan keluarga, tidur, travelling, dan seterusnya. Kok bisanya mereka menjadikan ritual peribadatan kepada Tuhan bukan sebagai hal yang paling membuat mereka tenang dan bahagia.


Tapi saya, sebagai seorang yang mungkin kualitas jiwanya tidak jauh dari hasil survei tersebut, justru sangat bersyukur dengan hasil survei itu. Mengapa? Walau di nomer tujuh belas, namun setidaknya masih ada yang memilih itu. Yah dalam kehidupan modern yang segalanya serba materialis seperti saat ini, ternyata masih ada orang-orang mulia yang menikmati ibadahnya kepada Tuhan. Dalam kehidupan yang serba cepat dan supersibuk ini, setidaknya masih ada ya orang yang menjadikan ibadahnya sebagai salah satu media untuk mendamaikan jiwanya, menenangkan hatinya, membahagiakan hidupnya. Dan saya terus berdoa semoga suatu saat Allah mengaruniai kita hati yang mampu menikmati ibadah-ibadah kita. Sehingga ibadah bukan lagi menjadi beban, tapi menjadi kebutuhan.


Saya selalu iri ketika ada orang yang bisa menikmati ibadah-ibadahnya. Menikmati salat-salatnya, menikmati zikir-zikirnya, dan menikmati tilawah-tilawahnya. Sungguh saya selalu iri ketika menyaksikan orang-orang yang mampu menjadikan salat, zikir, atau tilawah sebagai rutinitas yang seolah menjadi makanan dan sumber energinya. Saya selalu berdoa, semoga suatu saat bisa menjadi manusia sekualitas itu, yang menjadikan salat bukan hanya sebagai kewajiban, tapi sebagai kebutuhan.


Sebagaimana ketika Rasulullah ketika menghadapi persoalan yang pelik, tak jarang beliau memanggil Bilal, “Wahai Bilal, istirahatkan kami dengan salat." Ketika kita menjadikan salat sebagai kewajiban yang kita kerjakan dengan bermalasan, Rasul dan sahabatnya justru menjadikan salat sebagai istirahatnya. Ya istirahatnya.


Kang Jay


Post Sebelumnya     
     Next post
     Blog Home

Dinding Komentar

Belum ada komentar
You need to sign in to comment
advertisement
Password protected photo
Password protected photo
Password protected photo