Rebahan ditulis oleh Jayadiningrat


Kemarin-kemarin, dengan seabrek kesibukan saya sehari-hari ke kantor, mengurus tetek-bengek, meeting dengan customer dan rekan2, nge-training, sarapan, makan siang, atau memenuhi janji tamu. Waktu yang saya habiskan seharian seakan-akan hanyalah untuk mondar-mandir ke sana kemari. Di hari-hari paling sibuk, waktu sholat dan rehat sejenak di musholla bagaikan kemewahan.


Bahkan selama akhir pekan, satu-satunya kesempatan untuk bersantai-santai, masih saja tak kurang sibuknya, kendati kali ini kegiatan adalah jalan-jalan, bersama teman atau keluarga. Ada nge-mall, menghadiri undangan pernikahan, momong cucu, belanja mingguan, nonton Film yang gak boleh terlewatkan di bioskop, yang semuanya menuntut saya bermacet ria di jalan dan terus-menerus berkejaran dengan waktu di tengah kota metropolitan.


Sesekali saya menandai hari bebas di kalender, minimal setengah hari, apakah itu selama akhir pekan atau ketika saya memutuskan untuk mengambil cuti kerja sehari. Hanya karena saya ingin puas bermalas-malasan di tempat tidur sampai siang.


Bisa bermalas-malas di tempat tidur sementara seluruh dunia sudah terbangun dan siap-siap beraktivitas, adalah salah satu kemewahan hidup yang paling nikmat. Kita bisa kembali ke hari-hari ketika masih sekolah dulu dan pada pagi hari di akhir pekan ketika kita bangun pagi namun baru ingat itu hari libur dan bisa lanjut tidur untuk bangun di siang hari. Itu sungguh sangat menyenangkan.


Saat ini, sudah seminggu lebih WFH (Work from Home) dijalani, saya pun sadar ini bukan saatnya kita rebahan dengan damai saat menghadapi kenyataan bahwa virus Corona menghantui kita semua.


Namun kendati di kondisi ini, tetap saja terasa nyaman sekali bila bisa tidur pulas dan tanpa mimpi selama berjam-jam, seolah menebus kekurangan tidur selama berminggu-minggu yang lalu. Dan baru terbangun kala matahari siang menyapa dan ada geliat rasa lapar di perut.


Selama berlama-lama di atas kasur ini, kita tak usahlah merasa bersalah, tetapi anggaplah sebagai hadiah yang pantas kita dapatkan karena kita sudah memaksakan diri bekerja bertahun-tahun bahkan kadang tidak mengambil cuti dalam setahun. Inilah saat yang tepat untuk menyadari kembali tubuh sendiri, merasakan punggung melesak di atas kasur, jemari kaki memuntir-muntir di bawah selimut, mata menatap nanar ke langit-langit kamar, dan pikiran mencoba memunculkan mimpi yang hanya samar-samar teringat.


Nyaman sekali rasanya terus rebahan di kasur sampai tubuh mengatakan, “cukup" dan saya pun bangun untuk menyapa dunia dengan semangat yang telah segar kembali. Membuka laptop untuk check email dan schedule vicon via zoom untuk memulai WFH. Sambil membayangan sore hari bakal lanjut rebahan kembali saat kerjaan selesai, tanpa lelah bermacet ria. Lanjut dua minggu kedepan, nikmat ilahi apa yang kita dustakan.


Oh Corona, kamu memberi kami rasa takut namun juga memberi kami kenikmatan rebahan dan menyadari kembali tujuan hidup kami.


Semoga wabah ini segera berakhir karena bagaimanapun ada saudara-saudara kami yang tidak senikmat kami, paramedis, pekerja sektor informal, driver ojol, public service dll. Terus berjuang saudaraku, semoga Allah menggantikan saat ini dengan saat lain dalam kenikmatan.


Menanggapi masukan dari teh Ning. Ada punya pengalaman juga di saat wabah Corona ini. Seorang kakek 83 tahun jual mainan anak-anak di pinggir jalan yang sangat sepi.



Ketika ditanya "sudah berapa mbah dapat hari ini?", 'Baru 5 ribu rupiah dari jam 1 siang sampai jam 5 sore, untuk makan aja tidak cukup'. Kemudian tanya kembali, "keluarga mbah dimana?", dia menjawab istri sudah meninggal, anak-anak semua kerja diluar jawa, disini ngontrak dipinggir rel sendiri. Trenyuh, kemudian saya tanya boneka dan pancing2an itu harganya berapa? 20rb dan 30rb, beli 4.

"Nda takut sama virus Corona?", 'Nda takut, saya sudah tua pasrah saja'.


Contoh lain seorang nenek usia 90th penjual keripik dan kerupuk:


Atau penjual ulegan batu, selalu membawa anaknya sejak usia 2 bulan karena istrinya meninggal setelah melahirkan:



Pedagang harian maupun pekerja sektor informal inilah yang sangat berat merasakan akibat dari wabah Corona ini, kebayang kalau sampai lockdown, bagaimana mereka akan hidup. Kalau ada yang jawab, itu tugas pemerintah, lalu apakah yakin pemerintah jeli hingga sampai menbantu ke orang-orang terpinggirkan ini. Bagi yang vokal untuk segera lockdown, apakah kalian tega melihat nasib mereka jika lockdown diterapkan?. Apakah kalian pernah membantu?, atau cuma sibuk mengkritik pemerintah, atau menutup diri rebahan dengan nikmat. Tapi hidup itu pilihan, ada kala kita suka tutup mata, saya pun maklum, karena diri sayapun kadang begitu, tapi setidaknya ingatlah 2,5% penghasilan kita ada hak untuk mereka, ini WAJIB.


Kang Jay


Post Sebelumnya     
     Next post
     Blog Home

Dinding Komentar

Belum ada komentar
You need to sign in to comment
advertisement
Password protected photo
Password protected photo
Password protected photo