Sederhana saja: kita pria harus punya Standar.
Wanita saja punya Standar. Mereka tahu dengan jelas pria seperti apa yang mereka inginkan. Pria yang baik, sholeh, dewasa, mapan, mampu bersikap tegas, tidak emosional, memiliki integritas, bisa memimpin sebuah hubungan dan dapat membimbing serta melindungi mereka. Mereka tidak mengedepankan ketampanan. Dengan kata lain, wanita hanya menginginkan pria sejati.
Memang saya akui didunia modern ini berkat media yang selalu menayangkan wanita cantik dan seksi, pria-pria jadi memuja kecantikan dibanding kepribadian seorang wanita.
Diantara kita pria ada perasaan bangga apabila mendapatkan seorang istri yang cantik dan seksi, semacam kemenangan dibanding pria lain. Bahkan sesama kita pria bisa mendadak menertawakan jika melihat ada pria keren mapan punya istri biasa saja. Akibatnya, wanita cantik dan seksi dapat melakukan apa saja yang buruk dan tidak berkenan namun para pria tetap saja berkumpul dan memperebutkannya. Bahkan mereka makin eksis dan makin bertingkah, ya karena pria-pria tetap menginginkan mereka meskipun mereka bukanlah wanita yang layak untuk dijadikan pasangan.
Karena itu, kita pria pun harus punya Standar.
Wanita seperti apa yang kita inginkan? Wanita yang cantik dan seksi tapi tidak tahu caranya bersikap seperti seorang wanita? Atau wanita yang tahu caranya menghargai dan menghormati kita sebagai seorang pria, yang tahu caranya membawa diri dan bersikap di hadapan teman-teman atau keluarga kita. Wanita yang memiliki kualitas keibuan yang penyayang, lemah lembut, halus tutur katanya, yang membuat kita yakin bahwa kita dapat mempercayakan anak kita kelak dalam perawatannya? Dengan kata lain, seorang wanita sejati yang dapat kita banggakan.
Apabila kita menginginkan seorang wanita sejati, maka mulai sekarang janganlah menjadikan kecantikan atau bentuk tubuh seorang wanita sebagai prioritas kita. Jadilah tegas. Katakan TIDAK apabila kita menemukan wanita yang tidak wanita. Dia tidak layak untuk seorang pria sejati seperti Anda. Sudah cukup banyak pria berkualitas yang jatuh bergelimpangan dan hancur hanya karena wanita yang sebenarnya tidak layak untuk dikejar. Jangan lah menjadi pria-pria tersebut.
Tapi tentu, sebelum kita pria menuntut hak, kita pun harus melakukan kewajiban kita. Rasanya tidak adil apabila kita jadi pria-pemilih yang menuntut wanita menjadi wanita sedangkan kita sendiri belum menjadi pria yang layak untuk mendapatkan mereka. Karena itu lakukan segala macam cara untuk meningkatkan kualitas kita untuk menjadi pria sejati. Semangat.
Kang Jay
Pelem lama tapi ga lama-lama amat juga sih.
2018 gitu dah.
Gw jarang-jarang nonton pelem Indonesia di
bioskop kecuali yang emang rame beud, at least rame menurut versi gw yak. Bebangsaan
hantu-hantuan apalah apalah gitu, ateng bawa kayulah gw.
Kalo pelem Indonesia ini, biasanya ada film
yang bikin gw rugi dan berasa nyesel beud dah kalo nonton dibioskop. Udahlah
bayar, gitu doang ternyata. Mending nonton diinternet. Bisa sambil rebahan rasa
koprol nontonnya.
Tapi
ada pelem yang gw kudu nih nonton dibioskop dan bakal nyesel kalo enggak.
Contohnya film Aruna & Lidahnya. Nyesel banget gw kenapa gak cepet-cepet
nonton. Karena pelem ini ga sampe seminggu udah turun tayang. Kalah ama pelem
hantu-hantuan yang bisa hamper sebulan bertahan.
Hal yang bikin gw pengen banget nonton pelem ini karena selain yang main sesembak
Dian Sastro juga ada sesebabang Nicholas Saputra yang suka bikin halu-halu
kangen, idaman beud yak sosok babang iniiiihhhh...
Pelem ini juga bercerita soal kuliner
Indonesia yang bikin ngiler, meski cuman makanan khas Surabaya, Madura dan
Pontianak. Gw emang suka banget sih pelem yang ada kulineran, masak-masakan
gitu-gitu dah, asik aja sih nontonya. Ga usah gw ceritainlah yak asiknya apa,
karena selera asik kita tuh kadang suka beda jauh, yekaaannn…
Selain soal kulineran itu, pelemnya juga
ngulik-ngulik dikit soal flu burung yang ujung-ujungnya mengarah ke korupsi.
Cuman dua soal itu aja nih pelem. Kulineran dan isu flu burung. Ya, ada lah
soal cinta-cintaan dikit. Tapi jauh dari bebucinan.
Nah, ada satu perbincangan menarik yang
bikin gw pengen jadiin blog. Ada scene ketika Aruna dan Nad, lagi
ngobrol berdua. Nad ini tuh cantik, penulis, tinggal diluar negeri
tapi pacaranya banyakan laki orang. Makanya Aruna nanya, kok bisa ?
Aruna nanya ke Nad ; kenapa sih lo suka
banget pacaran sama laki orang ???
Jawaban Nad ; karena gw suka tantangan ! ----- (((((Whaaaaattt ??? Sejenak gw inget jenab dong yak, trus gw ngakak gegulingan dah)))))
***Trus gw juga mikir dong, sebagai yang
pernah jugalah berabad-abad yang lalu macarin lakor ; karena apa gituh gw
pacaran ama lakor ? Apa karena gw suka tantangan ??? Seingat gw sih enggak yak,
karena kejebak nyaman sih kalo gw ***
Trus Aruna nanya ; apa tantangannya ?
Kata Nad ; karena gw suka menantang diri gw
sendiri. Apakah gw akan baik-baik saja, kalo suatu hari dia memutuskan kembali
pada pasangannya.
Sampai sini, paham kalian ???
Note ; Lorjuk ama choipan terbayang-bayang
dimata dan dilidah…
Kena eliminasi u ngeladeni semua chat
U tamak beat enyah
Korma itu manis
Ktipu pandemic,
Realistis to matrekapitalis
Neoserakah
Ada uang ada barang money money money
Sedehana = miskin
Lowprifile = kaya
You menyeleksi org? You juga bahan seleksi
Seiman no 2 3 4 sepadan no 1
Reject no respect , react !
Konsumen gosip
Salah gocek real buzzer
Too many kids right here
WonderFail attitude
Pelunasan modal cantik haha
Back to DOTA 2
Suka kucing ga mau ke cakar
Pernah baca komentar seseorang, kalau cari jodoh itu yang MAU sama kamu.
Baiklah, akhirnya saya terapkan. Ada yang mau diajakin menikah, langsung gas. Meski di tengah pandemi dan ada pembatasan sosial, bisa berlangsung lancar acaranya.
Walaupun bertemu jodoh di luar situs AN dan kenapa saya tidak menulis ini di testimoni. Saya ingin megucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada AN. Di sini saya banyak belajar, mengenal berbagai karakter.
Dengan segala kerendahan hati, saya meminta maaf bila ada kata-kata saya baik di blog maupun chat/pesan yang kurang berkenan di hati member AN.
Kepada member AN yang belum mendapatkan jodoh, selamat berjuang!
Salam,
Arie Witantra
"Woi Kang, kami disini lagi pusing mikirin cari pasangan halal, bukan pusing mikirin rumah tangga". Ha ha ayolah ditengah kesibukan mencari pasangan disambi mempelajari bagaimana memanage keluarga kita dimasa depan menjadi baik.
Walau berkesan sederhana namun management rumah tangga ada baiknya dipelajari juga.
Memang model suami-istri sama sama bekerja ini bukan model yang umum ditemui dalam cerita dongeng, seperti cinderella dengan sang pangeran, sehingga tidak mudah mencari model panutan. Panduan keilmuan untuk model ini pun belum banyak bahkan juarang. Walau kenyataannya buanyak terjadi.
Bahkan banyak pria yang sebelumnya saklek bilang ke wanita ta'arufnya, "Saya ingin istri seorang ibu rumah tangga". Titik tidak pake koma. Si wanita karena sudah suka dan kagum, mengiyakan sambil ngomong dalam hati, "Yah gimana entar aja, cari cowok model 'dapuran' ginian yang baik dan mapan itu susah, bodo amat", ha ha ha. Ee setelah berjalannya waktu ternyata benar dibenak sang wanita tentang "gimana entar", akhirnya si pria menyadari bahwa istri bekerja ada baiknya juga. What next setelah dapat lampu hijau?.
Memang kalau saya, dulu, menerapkan model konvensional suami bekerja istri ibu rumah tangga. Karena istri memang tidak suka bekerja diluar. Namun saat ini saat saya jomblo mulai memikirkan model suami-istri bekerja, dengan simulasi jika saya mendapatkan istri bekerja atau istri yang ingin bekerja setelah nikah. Walau terdengar aneh, istri ingin bekerja setelah nikah, tapi kan bisa saja terjadi ha ha ha.
Lalu pemikiran berikutnya, untuk suami-istri bekerja apakah bisa urusan keluarga dan pekerjaan dibalance?.
Saat ini semakin banyak suami istri sama-sama bekerja. Sebabnya bisa macam-macam. Seperti: si istri sudah terlanjur bekerja sejak sebelum menikah, terlanjur punya karir bagus di tempat kerja. Atau dari keluarga yang sangat concern dengan pendidikan sehingga saat dewasa, dia terinspirasi perempuan-perempuan yang berkiprah di wilayah publik seperti Sri Mulyani, Marie Elka Pangestu, dll.
Sementara, si suami biasanya memberi ijin istrinya untuk bekerja, karena: memahami harapan tinggi orang tua istri yang menyekolahkan anaknya sampai tingkat tinggi, memahami bahwa istrinya punya potensi untuk berkembang dalam karir, memahami istrinya ingin independen secara finansial, atau untuk menghindari kemungkinan terburuk yang bisa saja terjadi di kemudian hari misal suami meninggal atau kena PHK.
Jadi, istri bekerja itu bukan semata-mata masalah aktualisasi, gengsi atau sekedar masalah finansial. Barangkali ada cerita panjang di balik itu semua.
Meski suami-istri sama-sama bekerja, seringkali tipe manajemen yang diterapkan masih tipe manajemen model istri di rumah-bapak bekerja, di mana suami berharap mendapat pelayanan seperti suami yang lain yang istrinya IRT. Suami memfokuskan diri mencari nafkah dan menyerahkan sepenuhnya urusan rumah tangga pada istrinya. Si istri pasrah saja dengan keputusan suami, karena memang biasanya keluarga lain juga begitu.
Namun karena si istri bekerja, tidak banyak waktu yang dia miliki untuk mengurus pekerjaan rumah yang seabrek itu; mulai urusan baju kotor, masak, bersih-bersih, halaman, sepeda rusak, rekening listrik, acara arisan RT, antar jemput anak, dsb. Akhirnya istri membutuhkan “perpanjangan tangan”, yaitu pembantu atau orangtuanya.
Jika menilik soal mempunyai anak, dengan kemajuan teknologi sekarang ini, tidak perlu lagi seorang ibu yang melahirkan untuk istirahat berlama-lama. Luka Operasi Caesar bisa kering dalam hitungan hari. Tak jarang seorang ibu sudah bisa bekerja seminggu setelah melahirkan. Namun bagaimana dengan mengasuh anak?.
Mencari pembantu yang pintar, cekatan, jujur, tanggung jawab dan bisa dipercaya tidaklah mudah. Kalaupun ada yang seperti itu, dia akan berpikir 100x untuk jadi pembantu. Akhirnya yang jadi pembantu itu biasanya yang sulit diterima kerja di mana-mana.
Alternatif lain yaitu orangtua istri/suami yang turun membantu. Namun bagaimana pun juga, gaya didik antar generasi bisa jadi berbeda. Belum lagi sindrom nenek/kakek terlalu sayang atau tidak tegaan sehingga cenderung memanjakan cucu. Bantuan ini adalah bantuan luar biasa yang harus dihargai, kasihan sebenarnya, bahkan saya pernah dengar ceramah dengan KH Anwar Zahid, beliau selalu mewanti-wanti jamaatnya untuk balikin cucumu ke orang tuanya, itu tanggung jawab mereka, kakek neneknya saatnya istirahat.
Kalau kedua alternative diatas susah atau kasihan, maka terpaksa pasrah bawa ke lembaga profesional seperti child care atau tempat penitipan anak. Kelebihan di lembaga seperti ini yaitu komplain bisa diterima, karena memang ada biaya yang dibayar untuk harapan pelayanan yang profesional. Coba bayangkan jika complain ke orang tua yang tentu segan, atau complain ke pembantu dengan kapasitas kemampuannya yang terbatas.
Kerepotan urusan rumah tangga ini menyebabkan waktu istri untuk bekerja berkurang secara signifikan dibanding saat sebelum menikah atau sebelum punya anak. Jika sebelumnya si istri bisa bekerja sepuas hati dan sebebas merpati, kini waktunya menjadi terbatasi waktu untuk keluarga. Istri tak lagi bisa kerja lembur. Banyak kesempatan yang lewat di depan mata, tidak bisa diraih karena keterbatasan waktu. Kualitas kerja jadi terasa kurang maksimal. Kondisi ini semakin menyulut stress saat menyadari rekan kerja yang lain melesat jauh lebih cepat.
Situasi seperti ini bisa menyebabkan istri pekerja mudah uring-uringan. Biasanya tergelitik untuk menyalahkan suami bahkab anak. Bahkan bukannya kebahagiaan rumah tangga yang didapat, namun percekcokan2 antara suami istri yang sama sama merasa bekerja. Ini semua karena manajemen yang amburadul, istri seakan merasa semua pekerjaan rumah di dia. Bahkan jika tidak dimanage maka bisa terjadi perceraian, karena istri merasa toh tidak ada suami juga semua bisa dihandle sendiri baik mencari nafkah maupun mengurus rumah.
Saya jadi ingat, adik perempuan saya yang pekerja keras, suatu saat ketika emosinya di puncak karena stres dengan semua kesibukan, menyuruh suaminya pergi membawa sekalian anak-anak dari rumah, tentu efek stres akut ini tidak diharapkan.
Memang jika terjadi ketidak-seimbangan dalam keluarga seperti ini, saran yang paling sering muncul adalah himbauan pada Istri untuk keluar dari pekerjaannya dan berkonsentrasi mengurus rumah tangga. Bahkan ada yang menyarankan: “Jangan pernah berusaha menyeimbangkan urusan rumah tangga dan karir. Karena itu tidak mungkin. Pilih salah satu.”
Herannya, tidak banyak yang menyarankan agar Suami lebih banyak meluangkan waktu untuk turun membantu membereskan masalah rumah tangga. Konsep suami adalah ‘pemimpin’ istri rawan disalah tafsirkan sebagai suami bebas mengatur istri semaunya, tanpa perlu mendengarkan pendapat istri dan berempati terhadap keadaannya. Pemimpin yang baik seharusnya pemimpin yang bisa berempati, dan tidak hanya menggunakan dalil agama sebagai tameng egoisme.
Pada model istri-suami bekerja ini, baik suami atau istri seharusnya paham betul akan keterbatasan masing-masing. Suami memahami bahwa istrinya bekerja, sehingga waktu untuk keluarga terbatas, maka tidak seharusnya menerapkan standar pelayanan ibu rumah tangga pada istrinya. Sebaliknya, suami perlu membantu istri mengurus pekerjaan rumah tangga. Sayangnya dimasyarakat kita, masih banyak yang berkomentar “iba” saat ada suami yang memasak, mencuci baju, atau memandikan anak. Biasanya yang berkomentar iba ini ibu si suami, saudara si suami, teman si suami, atau rekan kerja suami. Komentar iba pada situasi ini rawan menjadi komentar yang kurang semestinya, karena bisa jadi si istri juga tak kalah capeknya.
Adalah hal yang sangat rasional jika tugas-tugas kerumahtanggaan perlu didiskusikan dan didistribusikan. Ritual pagi suami untuk “sruput kopi plus baca koran pagi-pagi” boleh-boleh saja dilakukan jika tugas pagi sudah ditunaikan, dan istri sudah memastikan tidak ada lagi yang perlu dibantu. Sungguh kurang adil jika di satu sisi si istri multi tasking; kerepotan masak, memandikan anak, menyuapi anak, menyiapkan bekal ke kantor dan sekolah… sementara si suami enjoy ngopi-ngopi sambil baca koran yah peaceful life he he… Walau mungkin tidak salah-salah banget suami, tapi berempatilah sedikit.
Saran saya, tugas kerumahtanggaan suami ini sebaiknya MENGIKAT. Bukan tugas yang boleh dikerjakan boleh tidak, tergantung kelonggaran waktu dan mood. Karena kalau demikian, beban pikiran akan pekerjaan itu tetap ada di pundak istri. Padahal meski belum dikerjakan, jika ada kepastian bahwa istri tidak perlu mengerjakan tugas A,B,C,… karena tugas itu akan dikerjakan suami, hal itu sudah sangat mengurangi beban stress sang istri. Semisal mencuci dan menjemur baju dikerjakan suami, namun men-setrika dikerjakan istri. Artinya jika suami tidak mencuci maka baju tetap teronggok kotor menumpuk, bukan berarti istri mengambil alih perkerjaan itu.
Konsep ini sebenarnya bisa juga diterapkan ke anak yang sudah remaja, saya inget ibu saya membagi tugas kami anak-anaknya. Pekerjaan saya adalah mencuci piring dan perkakas dapur lainnya, terserah piring atau gelas kotor banyak maka tugas itu tetap disaya. Saya tidak mencuci piring = piring bersih sedikit, anggota keluarga lain bisa marah ke saya karena itu tanggung jawab saya.
Lanjut, di sisi lain, istri juga harus bisa menghargai bahwa suaminya sudah berkorban dengan tidak mematok standar ibu rumah tangga padanya. Istri-bekerja perlu merasionalisasi target karir atau pekerjaannya, disesuaikan dengan alokasi waktu untuk keluarga. Istri–bekerja tidak perlu merasa karirnya terlalu lambat saat tidak bisa mencapai target setinggi rekan yang lain. Istri-bekerja tidak sepatutnya membandingkan diri dengan pencapaian rekan kerja pria-nya dimana istrinya IRT, atau rekannya yang single, di mana dia mungkin bisa bekerja lembur semaunya. Masa depan keluarga dan anak-anak akan menjadi satu pencapaian tersendiri yang tak kalah pentingnya.
Hidup ini harus balance, termasuk antara keluarga dan pekerjaan. Baik istri atau suami bekerja, seharusnya tidak perlu merasa bersalah jika tidak bisa mengikuti rapat mendadak yang diadakan seusai jam kerja. Asalkan tugas sudah dipenuhi sesuai standar, masalah keluarga lebih penting. Jika ternyata suami atau istri berbaik hati mengijinkan pasangannya bekerja overtime, maka ia harus berjanji memberi hadiah setimpal. Hargai pengorbanannya. Jangan kemudian egois karena bekerja overtime maka mengabaikan tugas masing-masing yang sudah disepakati. Jikapun harus melimpahkan tugas itu, maka memintalah kepasangan kita dengan baik-baik.
Jika suami-istri bisa menghargai posisi masing-masing, ada pembagian tugas kerumah tanggaan yang jelas, plus lingkungan kerja mendukung; maka model suami-istri sama-sama bekerja ini pun bisa menjadi model ideal. Baik suami maupun istri perlu sedikit berkorban untuk menyesuaikan diri dengan kondisi ini. Namun, tidak ada yang perlu jadi martir. Istri tidak perlu berhenti bekerja, jika di situ ia bisa berkarya untuk dunia. Tidak ada yang tahu kan bisa jadi sang istri bisa mengubah dunia dan suaminya pasti laki-laki hebat nan bijaksana.
Maaf ini blog terpanjang ya he he. Saya paham pembaca suka melihat judul, awal dan akhir bacaan. Maka mangga bagi yang kuat baca, dibaca pelan-pelan. Jika tidak, bisa baca paragraf akhir diatas sebagai kesimpulannya.
Ketikan diatas diramu dari berbagai sumber dan literatur.
Kang Jay.
dan sangat sayang gegara melihat luhurnya moral etika (akhlaq) ketika menggapai dambaan.
==>
indahnya hati pancarkan terangnya jalan,
kilaunya pekerti longgarkan beban lenyapkan kesempitan
==>
sebetulnya daku belum ingin menerbitkan ini,
yaaach
mungkin disuatu saat nanti dimana terlihat sikon yg tepatlah baru tertuang perihal beginian.
tapi
nyatanya sekarang telah terlayangkan.
secerca coretan sekaligus "do'a² munajatku" buat yg beriman kepada Alloh swt.