User blogs

Tag search results for: "hidup"
Jayadiningrat VIP
Hidup menjadi terasa menegangkan dan membuat stres bila kita menganggapnya sebagai persaingan. Kendati demikian, persaingan itu lebih sering hanyalah produk pemikiran kita. Coba lihat orang-orang sukses yang kita jumpai, baca, dan tonton di televisi, begitu kita berkata pada diri sendiri bahwa kita harus seperti mereka, mencapai apa yang telah mereka capai dan memiliki apa yang mereka miliki. Kalau tidak, hidup kita sama dengan kegagalan. Kita kurang cepat dalam mencapai apapun.

Tak mengherankan bila hidup ini sering kali diibaratkan arena balap tikus. Dan kitalah tikus-tikus itu, yang selamanya terjebak di jalur balap, mengejar-ngejar sesuatu yang dinamakan kehidupan, yang definisi dan tujuannya selalu luput dari genggaman kita. Kita hanya tahu bahwa kita harus mengikuti perlombaan itu dan bersaing dengan yang lain. Untuk keluar dari jalur dan berhenti berlomba sama saja dengan tidak menjadi siapa-siapa. Atau begitulah yang kita kira.

Namun, kadang-kadang ada baiknya kita keluar dari jalur tersebut, meski hanya sejenak. Kalaupun bukan untuk menempatkan kehidupan kita ke dalam perspektif setidaknya kita bisa rehat dan memulihkan kembali kinerja kita untuk kembali ke jalur balap.

Salah satu cara untuk keluar sejenak dari arena balap itu adalah dengan menjadi penonton tentang apa yang sedang berlangsung menyepi di tengah keramaian, diam di antara berbagai kesibukan, dan hanya menyaksikan kehidupan berjalan.

Apakah itu di kafe, restoran, mall, di pinggir jalan, atau di mana pun tempat manusia berkumpul, menyaksikan orang-orang sibuk melakukan urusan keseharian mereka bisa menjadi acara melewatkan waktu yang menyenangkan. Bagaimanapun, tidak ada yang lebih nikmat ketimbang duduk-duduk, relaks dengan minuman sementara orang lain sibuk lalu lalang.

Tempat favorit saya untuk menyaksikan kehidupan mengalir adalah di kafe. Terutama kafe. yang memiliki teras terbuka. Karena tinggal di Jakarta, tidaklah sulit menemukan tempat seperti itu, kafe yang menyediakan kursi-kursi di luar, keteduhan teras atau payung-payung besar. Dan untuk secangkir teh dan soft bread, saya bisa duduk berjam-jam di kursi yang sama tanpa diganggu oleh siapa pun. Dari tempat saya duduk, biasanya tempat yang teduh dan mepet ke dinding kaca kafe, sebuah tirik intai paling leluasa untuk menebarkan pandang tanpa kentara, saya benar-benar tidak melakukan apapun bahkan tidak membuka gadget hanya menyaksikan orang-orang lalu lalang didepan. Orang-orang asing yang tidak pernah saya kenal.

Seorang pria kantoran lewat tergesa-gesa sambil melihat ke arlojinya. Dia mengenakan setelan lengkap dengan dasi dan menenteng tas kerja. Saya mencoba menebak apa kira-kira profesinya. Pastilah pegawai kantor dan dia sedang keluar untuk menemui kliennya atau sedang terburu-buru kembali dari rehat makan siangnya. Mungkin dia seorang bankir, akuntan, pengacara, atau profesi-profesi lain yang mengharuskannya mengenakan setelan lengkap dan dasi.

Beberapa turis duduk tak jauh dari tempat saya duduk. Saya tahu mereka turis karena mereka mulai membuka peta, mungkin mencoba mencari lokasi di mana mereka tengah berada. Keduanya mengenakan topi dan sandal yang nyaman. Saya menduga-duga dari kota mana mereka dan apa pekerjaan mereka. Saya juga bertanya-tanya apa pendapat mereka tentang Jakarta dan di hotel mana mereka menginap.

Seorang pelayan tua mengelap meja di sebelah saya. Dia berpakaian rapi dengan celemek besar menggantung di pinggang dan terlihat sepatu hitamnya yang mengilap, Rambutnya yang mulai menipis berkilap rapi. Dia mengambil pesanan tanpa mencatatnya, hanya mengandalkan ingatan. Tampaknya dia sudah bekerja di kafe itu seumur hidupnya. Saya menerka-nerka bagaimana rasanya menjadi tua dan masih harus menjadi pelayan. Dia santun tetapi saya menangkap sikap dingin dari mimik wajahnya, seolah dia ingin berada di tempat lain. Seandainya jadi dia, saya pun akan begitu.

Sekelompok perempuan menenteng barang-barang belanjaan singgah ke kafe untuk sekadar mengistirahatkan kaki mereka. Seorang perempuan muda duduk sendirian, asyik membaca buku sambil tangannya memain-mainkan mangkuk salad. Pakaiannya rapi dengan sepatu yang cocok. Mungkin dia seorang pekerja kantoran yang sedang istirahat siang. Saya bertanya-tanya apakah ia punya pacar he he.

Lalu ada beberapa pasang muda-mudi. Ada yang melihat-lihat menu sambil sesekali berpegangan tangan. Ada pula yang tengah berdebat.. Yang lain duduk dengan tenang, menikmati makanan atau minuman mereka tanpa saling berbicara atau bahkan tanpa menyadari kehadiran yang lain.

Lalu ada lagi beberapa ibu dengan anak-anak yang rewel, sekelompok perempuan muda yang tertawa cekikikan dan mengobrol dengan suara keras, serta anak-anak muda yang tak pernah berjalan tanpa saling dorong atau tanpa ramai bersenda gurau.

Setiap kali, saya bertanya-tanya siapakah mereka, apa pekerjaan mereka, dari mana asal mereka, dan apakah mereka merasa senang, kesal, frustrasi, marah, bosan, ataukah puas dengan hidup mereka. Kadang-kadang, saya bahkan bisa merasakan apa yang sedang mereka rasakan: kegembiraan karena jatuh cinta, kekesalan karena tidak diacuhkan, dan kemarahan membara di balik sikap diam, kesepian, kebosanan atau sekadar kelelahan membesarkan bocah balita.

Duduk diam di tengah kehidupan ini membuat saya menyadari bahwa hidup ini bukan perlombaan melain kesimpangsiuran, dan kita sering kali tidak tahu bagaimana kita bisa sampai di sana dan bagaimana cara keluarnya.

Namun, barangkali saja, itu bisa kita atasi dengan menikmati petualangannya, menantikan tikungan dan belokan yang tak terduga, menerima apa pun yang kita temukan di pojoknya, dan menjelajahi jalan-jalan rahasianya. Tentu ada perspektif agama yang lebih menyejukkan untuk mencerna hal ini yang tidak saya bahas disini.

Kang Jay

Jayadiningrat Aug 9 '20 · Tags: hidup
advertisement
Password protected photo
Password protected photo
Password protected photo