BLOG TULISAN Ived

Assalamu'alaykum warahmatullahi wabarakatuh


Semangat Subuh


CINTA BERSUJUD DI MIHRAB TAAT


Bagian 1


Julaibib, begitu dia biasa dipanggil. Sebutan ini sendiri mungkin sudah menunjukkan ciri jasmani serta kedudukannya di antara manusia, kerdil dan rendahan.


Julaibib.. Nama yang tak biasa dan tak lengkap. Nama ini, tentu bukan dia sendiri yang menghendaki. Tidak pula orangtuanya. Julaibib hadir ke dunia tanpa mengetahui siapa ayah dan yang mana bundanya. Demikian pula orang-orang, semua tak tahu, atau tak mau tahu tentang nasab Julaibib. Tak dikenal pula, termasuk suku apakah dia. Celakanya, bagi masyarakat Yatsrib, tak bernasab dan tak bersuku adalah cacat kemasyarakatan yang tak terampunkan.


Julaibib yang tersisih. Tampilan jasmani dan kesehariannya juga menggenapkan sulitnya manusia berdekat-dekat dengannya.

Wajahnya yang jelek terkesan sangar. Pendek. Bungkuk. Hitam. Fakir. Kainnya usang. Pakaiannya lusuh. Kakinya pecah-pecah tak beralas. Tak ada rumah untuk berteduh.


Tidur sembarangan berbantalkan tangan, berkasurkan pasir dan kerikil. Tak ada perabotan. Minum hanya dari kolam umum yang diciduk dengan tangkupan telapak.


Abu Barzah, seorang pemimpin Bani Aslam, sampai-sampai berkata tentang Julaibib:


”Jangan pernah biarkan Julaibib masuk di antara kalian! Demi ALLAH jika dia berani begitu, aku akan melakukan hal yang mengerikan padanya!”


Demikianlah Julaibib..


Namun jika ALLAH berkehendak menurunkan rahmatNya, tak satu makhlukpun bisa menghalangi. Julaibib berbinar menerima hidayah, dan dia selalu berada di shaff terdepan dalam shalat maupun jihad. Meski hampir semua orang tetap memperlakukannya seolah dia tiada.

Tidak begitu dengan Sang Rasul, Sang rahmat bagi semesta alam.

Julaibib yang tinggal di shuffah Masjid Nabawi, suatu hari ditegur oleh Sang Nabi ﷺ.


”Ya Julaibib”, begitu lembut Beliau ﷺ memanggil, ”Tidakkah engkau menikah?”


”Siapakah orangnya Ya Rasulallah”, kata Julaibib, ”Yang mau menikahkan putrinya dengan diriku ini?”


Julaibib menjawab dengan tetap tersenyum.

Tak ada kesan menyesali diri atau menyalahkan takdir ALLAH pada kata-kata maupun air mukanya. Rasulullah juga tersenyum.

Mungkin memang tak ada orangtua yang berkenan pada Julaibib. Tapi hari berikutnya, ketika bertemu dengan Julaibib, Rasulullah ﷺ menanyakan hal yang sama :


”Wahai Julaibib, tidakkah engkau menikah?”


Dan Julaibib menjawab dengan jawaban yang sama. Begitu, begitu, begitu. Tiga kali. Tiga hari berturut-turut.


Dan di hari ketiga itulah, Sang Nabi ﷺ mengapit lengan Julaibib kemudian membawanya ke salah satu rumah seorang pemimpin Anshar.


”Aku ingin”, kata Rasulullah pada si empunya rumah,

”Menikahkan puteri kalian.”


”Betapa indahnya dan betapa berkahnya”, begitu si wali menjawab berseri-seri, mengira bahwa Sang Nabi lah calon menantunya.


”Ooh.. Ya Rasulallah, ini sungguh akan menjadi cahaya yang menyingkirkan temaram dari rumah kami.”


”Tetapi bukan untukku”, kata Rasulullah.

”Kupinang puteri kalian untuk Julaibib.”


”Julaibib?”, nyaris terpekik ayah sang gadis.


”Ya.. Untuk Julaibib.”


”Ya Rasulullah”, terdengar helaan nafas berat.

”Saya harus meminta pertimbangan isteri saya tentang hal ini.”


”Dengan Julaibib?”, isterinya berseru. ”Bagaimana bisa? Julaibib yang berwajah lecak, tak bernasab, tak berkabilah, tak berpangkat, dan tak berharta? Demi ALLAH tidak. Tidak akan pernah puteri kita menikah dengan Julaibib. Padahal kita telah menolak berbagai lamaran..”


Perdebatan itu tak berlangsung lama. Sang puteri dari balik tirai berkata anggun :


”Siapakah yang meminta?”


Sang ayah dan sang ibu menjelaskan.


”Apakah kalian hendak menolak permintaan Rasulullah? Demi ALLAH, kirim aku padanya. Dan demi ALLAH, karena Rasulullah lah yang meminta, maka tiada akan dia membawa kehancuran dan kerugian bagiku.”


Bersambung ke bagian 2


https://t.me/semangatsubuh


Selamat menjalankan ibadah sholat subuh, semoga Allah menerima amal ibadah kita Aamiin

Cerita Inspirasi:


*CERBUNG*

*Dibaca disaat santai*


*SUAMIKU JADUL*


_Part 1_


Namamya kuno, Parlindungan, biasa dipanggil Parlin. Tak punya akun FB, apalagi IG. Nomor kontak di HP-nya hanya lima belas, semuanya keluarga. Itulah suamiku. Kakakku menyebutnya suami jadul yang hidup di tahun delapan puluhan.


"Enak juga punya suami jadul ya, orang sibuk dengan HP-nya masing-masing, dia justru cabut rumput," kata kakakku seraya menunjuk suamiku yang lagi cabut rumput. Perkataan kakakku itu justru seperti hinaan untukku.


Saat itu kami seperti biasa berkumpul, semacam arisan tak resmi, kami satu keluarga selalu berkumpul setiap bulan di rumah orang tua. Ya, memang begitu, ketika semua orang sibuk dengan hp-nya, suamiku justru membersihkan halaman rumah orang tua. Kadang aku malu juga, entah apa kelebihan suamiku ini, sehingga ayah dulu ngotot menjodohkan kami.


"Maklumi aja, orang kampung memang keahliannya cabut rumput," kata kakak iparku seraya tertawa.


Kami keluarga besar berjumlah enam orang, aku nomor tiga, akan tetapi akulah yang terakhir menikah. Ketika adik paling bungsu sudah punya anak, aku baru dapat jodoh, itupun dijodohkan ayah. Orang kampung, pengangguran pula. Aku bilang pengangguran karena memang dia tak kerja, seharian hanya di rumah. Akan tetapi dia rutin kasih uang belanja. Entah dia dapat dari mana aku tak tahu. Kami baru tiga bulan menikah. Aku bahkan belum tahu dia kerja apa?


Penampilannya juga memang kuno, masih setia dengan rambut gobel, masih setia dengan celana keeper. Di rumah seharian justru hanya pakai sarung.


"Gaul dikit napa, Bang?" kataku pada suami, ketika dia lagi sibuk membersihkan halaman. Kudatangi dia, karena tak tahan cibiran saudaraku sendiri.


"Gak percaya diri abang, Dek, cerita mereka urusan kantor terus, aku hanya tau rumput," jawab suami seraya terus mencabuti rumput.


"Udah kalau gitu aku ikut cabuti rumput," jawabku seraya duduk dan mulai kerja.


Perkenalan kami dulu sangat singkat sebelum menikah, hanya kenalan sepuluh hari baru akad nikah.


"Kau percaya pada Ayah, Nia?" begitu kata Ayah sewaktu mengenalkan kami.


"Tentu saja percaya, Ayah," jawabku.


"Menikahlah dengannya," kata Ayah lagi, seraya menunjuk pria jadul itu.


Saat itu aku hanya diberi waktu berpikir satu hari, kuterima dengan pertimbangan umur yang sudah kepala tiga, karena aku juga percaya pada Ayah, tak mungkin dia menjerumuskan putrinya sendiri. Kami menikah sepuluh hari kemudian. Aku bahkan belum pernah dibawa ke rumah mertua. Kenal mertua hanya ketika resepsi saja. Aneh kan? akan tetapi itulah hidupku.


Kami kumpul ketika makan siang, enam anak dan enam menantu semua berkumpul di meja makan. Ayah mulai bicara.


"Ayah berencana mau umroh, tapi uangnya tak ada, bersediakah kalian membantu Ayah?" tanya Ayah.


Semua kami terdiam dan saling berpandangan, belum pernah Ayah minta bantuan begini, selama ini beliaulah yang membantu kami, hampir semua anaknya diberi modal untuk usaha sendiri.


"Ayah tahu usaha lagi sepi, tapi kubantu juga satu juta," kata abangku yang tertua.


Satu juta? dia yang paling lumayan hidupnya hanya bantu satu juta, bagaimana yang lain.


"Aku juga satu juta," kata kakak yang nomor dua. Dan disambung saudara yang lain hanya bisa bantu lima ratus ribu.


Tinggal aku, kulihat suamiku yang seperti biasanya hanya diam saja.


"Batalkan saja, Ayah, hanya dapat empat juta, biaya umroh dah berapa?" kata abangku yang tertua.


"Sisanya aku yang talangi," kata suami tiba-tiba.


Semua mata mengarah ke suami, aku juga ikut melihat suamiku itu, bagaimana dia bisa bicara begitu, sedangkan rumah kami saja masih ngontrak, beli HP saja dia tak mampu?


"Bang?" kataku pada suami lebih tepatnya bertanya, ingin melihat kesungguhan.


"Iya, aku bayar semua," kata suami, nada suaranya kedengeran yakin sekali.


Ayah menutup pembicaraan dengan mengucapkan "Alhamdulillah" lalu beliau masuk kee kamarnya.


"Aku yakin Ayah prank ini," kata adik bungsuku.


"Kok kau bilang gitu?"


"Dia hanya menguji kita, aku yakin sekali, makanya si Parlin berani talangi semua, pasti ayah sudah bicara duluan dengan Parlin, Ayah kan akrab sama dia," kata abangku yang tertua.


"Beli bedakmu saja dia gak mampu, mau berangkatkan Ayah umroh lagi?" sambung kakakku yang nomor dua.


Kulirik suami, dia hanya diam seperti biasa. Ini suami macam apa, orang membicarakan dia di dekatnya sendiri dia diam.


"Andaipun benar, aku yakin itu uang ayah juga, pengangguran gitu dari mana dapat uang banyak?" sambung Adikku.


Segera kutarik tangan suami dari orang ramai, kuajak dia bicara berdua. Aku tak habis pikir, HP-nya saja masih HP Nokia jadul.


"Bang, apa benar?" tanyaku setelah kami berduaan.


"Iya, Dek, benar."


"Bang, kalau memang ada uang abang segitu, lebih baik beli motor baru, HP baru aja," kataku lagi.


"Lo, kok adek gitu? itu orang tuamu, Dek, mungkin ini keinginan terakhirnya."


"Baik, dari mana Abang ambil uang segitu?"


"Itu hanya satu sapi, Dek,"

Untuk

"Satu sapi?"


"Iya, Dek, hanya seharga satu sapi."


Bersambung...

Copas

Arsip

advertisement
Password protected photo
Password protected photo
Password protected photo